Kelvin (Every Boy's First Love Is My Sister)

296 25 0
                                    

Setelah menghabiskan akhir pekan di pantai, kami kembali menjalani rutinitas sekolah. Aku seperti biasa menggendong Kana yang katanya hari ini sedang malas berjalan karena kelelahan. Mungkin gara-gara berlarian di pantai seharian bersama Lean dan Rana, bonus dikerjain Kak Bayu dan Kak Dion jadinya ia tepar tadi pagi. Dia tidak mengeluh sakit atau pegal, tapi aku tahu bahwa ia mengalami itu karena sejak pagi jalannya pun seperti berat. Kasihan, adikku.

Seperti hari-hari sebelumnya juga, Kana banyak disapa murid-murid yang kata Lean, mereka adalah fans Kana. Aku kurang paham dengan konsep fans itu, tapi aku mengerti mengapa semua orang sangat suka menyapa Kana. Kana itu lebih ramah dan mudah diajak ngobrol dibandingkan denganku. Dia juga lebih suka tersenyum untuk membalas sapaan teman satu angkatan ataupun kakak kelas kami. Seperti stok keceriaan dan tenaga yang tidak pernah habis. Padahal jika di rumah, dia manja sekali.

Aku menurunkan Kana ketika sampai di bangku kami. Lagi-lagi ada di pojok kelas karena sepertinya Kana terlanjur suka dengan idealisme barunya itu. Aku mau tidak mau hanya mengikuti. Masih pagi, tapi anak-anak kelasku sudah banyak yang berangkat. Beberapa menyapaku dan kebanyakan cewek. Lebih banyak yang menyapa Kana, baik cewek maupun cowok. Lihat? Kana mudah sekali mengambil hati orang hanya karena sifatnya yang ramah dan suka mengumbar senyum gratis.

"Pagi, Kana!" Sapa seorang cowok yang duduk di samping tempat duduk kami. Namanya Arthur. Cowok yang suka sekali pendekatan ke Kana, tapi aku tidak senang akan hal itu. Bukan karena Arthur itu jelek atau apa, dia tinggi dan rapi, tapi caranya mendekati Kana dengan rayuan-rayuan tidak pentingnya itu yang membuatku terusik. Lagipula Kana berulang kali bilang padaku bahwa keberadaan Arthur di sekitarnya, membuatnya tidak nyaman. Tapi Kana masih bersikap ramah demi menjaga sopan santun dan terkadang juga mode flat-nya kembali terlukis di wajahnya.

"Oh, pagi...," balas Kana tanpa tersenyum. Dia memilih untuk memasukkan buku-bukunya ke dalam laci meja lalu bermain hp. Arthur menggaruk tengkuknya kikuk lalu memandang arah lain saat aku menatapnya tajam.

"Hai, Na. Lo udah ngerjain sosiologi nomor 10 belom?" Kali ini Lean yang menyapa. Datang dengan rusuh dan sedikit ngos-ngosan.

"Udah kok. Lo kenapa rusuh banget sih pagi-pagi?" Kana mengeluarkan bukunya dan menyerahkan ke Lean. Lean hanya menerima dan mengipas wajahnya sebentar kemudian duduk di meja depan kami.

"Ntar gue ceritain. Gue nyalin dulu." Lean sudah sibuk dengan PR nya. Kana hanya diam namun kemudian menoleh ke arahku.

"Evin, minta yogurt..., aku cuma bawa satu tadi lupa masukin ke tas. Padahal udah ada di atas meja." Kana cemberut.

"Makanya, teliti...," aku mengeluarkan 2 buah yogurt dari tas dan menyerahkan salah satunya ke Kana. Dia hanya nyengir tanpa dosa dan mulai minum yogurt.

"Pagi guys!" Rana sudah muncul dan segera duduk di bangku sebelah Lean.

"Pagi, Ran!" Ujar kami kompak.

"Lo ngapain Le?" Rana menoleh ke arah Lean dan mengintip pekerjaan Lean.

"Ck, kebiasaan deh lo. Makanya dari sebelum weekend dikerjain, biar semalem ngga bergadang tugas. Untung Kana baik ngasih jawaban." Rana mengomel lalu membuka buku novelnya dan mulai membaca.

"Iya. Gue nyesel kok. Lagian gue beneran lupa kalo belum ngerjain sosiologi. Gue kira malah ada PR sejarah. Jadinya gue bela-belain ngerjain ini semalem karena baru inget pas nyiapin jadwal. Eh, malah ketiduran padahal cuma kurang satu nomor dan imbasnya gue bangun telat. Untung masih sempet mandi." Jelas Lean membereskan bukunya.

"Makasih, Na..., nanti gue beliin coklat di kafetaria deh..." Lean menyerahkan buku Kana dan hanya diangguki Kana.

"Lo kesiangan? Tapi masih lebih siang Rana berangkatnya." Komentarku karena sesiang-siangnya waktu bagi Lean, masih lebih siang waktu Rana berangkat ke sekolah.

It's Only 5 Minutes Appart (End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang