12. Sebuah Rahasia

61 8 1
                                    


"Lagi!"

"Ulang!"

"Lagi!"

"Ulangi!"

"Lagi!"

"Pelajari cara membalut pakai kassa, jangan kebiasaan pake mitela"

Varsha menjatuhkan dirinya tepat di sebelah Sharon. Ia masih memegang gulungan kassa dan gunting khusus kassa.

"Huaaaa gue ga tahan, gue fokus ngapalin format PP nya dan itu pun cuma semalem. Mana bisa gue langsung bisa nanganin" keluh Varsha.

Pasalnya, Varsha ini baru pertama kalinya masuk PMR. Ia benar-benar tidak tahu apa-apa, bahkan isi tas Pertolongan Pertama secara lengkap pun ia tak tahu.

Kemarin malam Tio mengiriminya satu berkas, isinya tulisan yang tidak bisa dimengerti Varsha. Tapi kakak kelasnya itu hanya menyuruhnya menghafalkan isi file tersebut.

Dan jadilah di hari Senin ini Varsha diikutsertakan latihan untuk lomba hari Senin minggu depan.

Varsha ingin menangis rasanya, ia bahkan sudah harus mulai merancang event Pekan Sains & Teknologi bersama Dimi. Belum lagi saat pertengahan semester 1 ini sedang dilaksanakan banyak ulangan.

"Sabar ya Var, kak Pierre kalau udah mendekati lomba emang gini" hibur Sharon yang melihat Varsha terus terusan dimarahi Pierre.

Pierre adalah pelatih PMR yang disewa oleh sekolah untuk melatih tim PMR Regen High School. Ia masih muda,maka disebut dengan embel-embel 'kak'.

"Ga ada toleransi banget sih!" Omel Varsha pelan.

Di saat tim lain sedang melakukan praktek, Tio melambaikan tangannya pada Varsha. Mengisyaratkan agar gadis itu mengikutinya.

Varsha keluar dari UKS dan mengekori Tio. Di kejauhan sana dapat terlihat anak-anak PMR bidang tandu yang berlatih di lapang utama.

Mereka berhenti di depan ruang OSIS, di depan ruangan itu ada beberapa meja dan kursi kayu.

"Var lo yakin bisa lanjutin?"

"Keliatannya ga ada harapan sama sekali ya kak?"

Tio mengusap dagunya pelan, tampak berpikir.

"Kasih gue waktu 3 hari dan gue bisa nguasain kak. Ya ga jadi master sih, tapi bisa lah"

Tio masih larut dalam pikirannya, "Yaudah, gue percaya sama lo. Tapi jangan sampe lo sakit ya? Sayang juga sih soalnya tim nya udah di daftarin dan udah lunas administrasi nya"

"Makasih udah percaya sama gue" Varsha tersenyum lebar.

Tio menghela nafas, tampak sedang banyak pikiran. Mereka kembali ke UKS. Latihan terus berlangsung sampai pukul 17:00.

Setelah diberi evaluasi oleh Pierre, mereka diizinkan pulang. Varsha tidak langsung pulang, ia pergi menuju tempat yang tinggi.

Maksudnya, tempat rahasia yang diberitahukan Ari padanya.

Begitu sampai disana, Varsha dikejutkan dengan sosok Ari.

"Hai, sore yang indah ya"

Varsha duduk di sebelah Ari, lagi-lagi ia melihat laki-laki itu mengenakan pakaian basket. Ekspresi laki-laki itu tidak seperti biasanya (cerah dan selalu tersenyum) , saat ini ia nampak murung.

"Kenapa gue sering banget liat lo pake baju basket?" Varsha mengeluarkan handphone nya, membaca berkas baru tentang penanganan luka yang dikirim oleh Tio.

"Gue emang tiap hari basket"

"Biar apa?" Tanya Varsha, masih fokus pada handphone.

"Gue suka basket. Sangat suka" Ari diam sebentar lalu melanjutkan "Tapi ayah gue ga pernah mendukung, gue harus menempuh jalan yang dia pilih buat gue"

Ketika Hujan TurunTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang