Berlatarkan langit yang segelap obsidian, gadis itu melangkahkan kakinya dengan cepat. Paving block berlumut yang ia injak membuat jalannya agak terseok.Nafasnya memburu, tubuhnya mengeluarkan keringat guna mengatur tempratur tubuhnya yang meningkat. Lama kelamaan jalan cepatnya berubah menjadi hentakan kuat menandakan ia berlari.
Pertokoan di sisi kanannya mulai meredupkan lampu dan jalanan di kirinya mulai melenggang, hanya satu atau dua kendaraan yang lewat.
Gadis itu berhenti, menatap nanar ke arah langit. Tangannya menengadah merasakan setetes air jatuh ke telapak tangannya yang dingin. Ia menggerutu, menyesali pilihannya untuk tidak memakai taksi.
Hujan yang makin lama makin deras tidak menyebabkan gadis itu mengurungkan niat, ia tetap melangkah menuju tujuannya.
Ia sampai di perempatan jalan, di sebrangnya terdapat taman kota yang luas. Tanpa basa basi ia segera berlari menuju taman tersebut, menerobos hujan dan dinginnya angin malam.
Netranya mencari kesana kemari, tubuhnya gemetar, kakinya melangkah tidak beraturan.
Setelah 10 menit ia menemukan apa yang ia cari. Sesosok laki-laki jangkung berdiri bersandar pada tiang lampu taman, memandang kosong ke depan.
Tubuhnya basah kuyup, sama seperti gadis itu.
"Bodoh..." lirih gadis itu,membuat sosok laki-laki tersebut menoleh lantas tersenyum.
"Akhirnya datang juga, udah jadi batu nih gue gara gara nungguin lo sejak zaman dinosaurus" celetuk si laki-laki random.
"Kenapa lo masih disini?"
"Gue nungguin lo"
"Di bawah hujan gini? Di malem hari? Sendirian? Gimana kalo ada pembunuh, penculik,orang jahat?"
"Lo lagi liat orang jahat itu"
"Gue nggak bela belain dateng kesini malem malem kehujanan cuma buat ketemu orang jahat!"
"Kalo gitu kenapa lo datang?"
"Gue mau nyuruh lo pulang! Kenapa lo nggak pulang dari sejak gue telfon lo"
"Gue harus ngomong langsung sama lo"
"Dasar batu! Keras kepala! Gue udah nyuruh lo pulang, gue udah bilang gue gamau ketemu sama lo, gue udah negasin kalo semua omongan lo ga masuk akal dan gue gamau denger apapun lagi yang keluar dari mulut lo! Lo pikir lo siapa? Bisa seenaknya ngomong hal-hal ga enak sama gue emangnya gue ga punya perasaan hah?!"
"Varsha"
Si gadis menghentikan ocehannya, matanya menyendu mendengar laki-laki itu memanggil namanya.
"Gue bisa pastiin kalo ini terakhir kalinya lo punya perasaan sama gue. Ini salah Var, lo ga seharusnya punya perasaan sama gue" laki-laki itu terdiam sebelum melanjutkan "gue punya alasan tersendiri dan gue harap lo bisa nerima tanpa harus tau alesannya"
Ekspresi Varsha mengeruh, otaknya dengan cepat memikirkan berbagai balasan yang tepat untuk omongan laki-laki itu. Nihil,yang ia ucapkan hanyalah,
"Kalo gitu pergi. Jangan buat gue berharap untuk milikin lo, Arima" Varsha berkata dengan nada ringan yang kosong.
Ekspresi Arima berubah menjadi tak terbaca. Suara hujan dan angin yang melolong membuat semuanya terasa bising, sungguh malam yang kelabu.
"Gue mau pulang. Lo juga pulang,ini udah jam 10 malem" Varsha melirik jam tangan yang melingkar di pergelangan tangan kirinya.
"Gue anter lo pulang" Arima meraih tangan Varsha dan menarik gadis itu pergi dari taman.
Keduanya berjalan di bawah guyuran hujan. Malam,angin, dan hujan merupakan saksi bisu atas merenggangnya hubungan Arima dan Varsha, dua sahabat yang rumit.
"Varsha. Jaga diri lo" Arima membuka pembicaraan.
"Lo kaya mau pergi jauh"
"Anggap aja begitu"
Mereka kembali terdiam. Langkah demi langkah menghancurkan dinding waktu mereka bersama, mengikis saat saat mereka bersama dan bercakap cakap seperti ini.
"Kenapa kita nggak bisa selamanya kaya gini Ri?" Varsha menoleh menatap figur Arima yang basah kuyup "Menjadi sahabat lo juga gue ga masalah"
"Jangan buat gue berharap buat milikin lo" cibir Arima.
"HAHA. Bener ya emang gaada persahabatan murni antara cewe sama cowo"
"Kita lebih dari itu"
Keduanya terdiam. Mereka berhenti tepat di depan rumah berpagar putih di suatu komplek perumahan.
Varsha memutar tubuhnya memunggungi pagar, menghadap Arima.
"Cepet masuk rumah. Gausah mandi. Langsung tidur, gausah main gadget semacemnya"
"Iya bawel"
Arima terkekeh.
"Gue ada satu pertanyaan buat lo"
"Apa?"
"Gimana kalo suatu saat gue butuh sama lo?"
Arima mempersempit jarak mereka, menundukkan badannya dan berbisik di telinga Varsha.
"If you need me I will still be one last good man in your heart"
Apakah ini merupakan akhir bagi Varsha dan Arima? Tidak. Ini hanya awal. Awal yang kelabu.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Ketika Hujan Turun
FanfictionArima Keenandra Raviv, ia yang selalu datang namun tak pernah menetap, ia yang selalu pergi tetapi selalu kembali. Arima mengajarkan Varsha tentang hal paling berharga dalam hidup. Begitupun sebaliknya. Bagaimana akhir dari perjalanan mereka di Reg...