16. Pengakuan

57 11 2
                                    


Bel istirahat berbunyi, Mr. Dan menyudahi pertemuan mereka dan pergi meninggalkan kelas.

Anak laki-laki pun dengan rusuh mengambil tikar di sudut belakang kelas,menggelarnya dan membuka sepatu mereka satu persatu.

"Gila mau pecah rasanya otak gue" Marva yang sudah mengambil kotak bekalnya duduk paling pertama di atas tikar.

Saking jarangnya mereka ke kantin, mereka patungan buat beli tikar makan siang. Jadilah setiap istirahat kedua selalu ada piknik di belakang kelas X MIPA 7.

Laki-lakinya saja, perempuannya disuruh makan di bangku dan tidak diizinkan bergabung barang sedetik pun. Katanya yang mereka obrolkan seputar laki-laki, tidak boleh didengar perempuan.

Anak perempuan pun sudah menyerah mencoba bergabung dengan mereka dan alhasil mereka menyatukan dua meja dan makan bersama disana.

"Eh tapi kalau kita tuh lulus 2 tahun gak sih?" Celetuk Lucas di sela kegiatan makan siang mereka.

"Nggak. Kelas unggulan ini bukan buat lulus 2 tahun, tapi belajar materi lebih dalem" jawab Iza.

"Yah gue kira buat lulus 2 tahun"

"Ngapain lah cepet cepet?" Komentar Ari.

"Iya, harus menikmati masa putih abu"

Selanjutnya Ari dan Hikam high five sambil cekikikan.

"Menikmati masa putih abu, lo pada nyebat gak sih?" Tanya Marva.

Serempak semuanya menggeleng, bahkan Jauzan yang biasanya duduk disana dan memperhatikan ikut menggeleng.

"Ah cemen"

"Lo nyebat Mar?"

"Almost everyday"

"Anjir lu mainnya sama si Chakra sih"

"Heh gue juga tau lo nyebat, kaga ngaku aja" gerutu Marva.

"Eh Kam bekel lo bento supermarket lagi?"

"Hooh, nyokap gue ada dinas" jawab Hikam sekenanya.

"Tapi gue suka bento supermarket, minta Kam" Lucas mencomot salah satu nugget dari bento Hikam.

Yang lain mengikuti, termasuk Hikam sendiri yang mengambil telur orak-arik dari kotak bekal Ari.

"ASIN BANGET!" Hikam langsung heboh mencari air minum.

Alhasil semuanya mengikuti pergerakan Hikam, penasaran dengan telur orak-arik yang keasinan.

Di tengah keributan mengomentari telur yang keasinan, Ari tetap kalem dan menyendokkan telur itu ke dalam mulut.

Padahal lidahnya sudah sangat mati rasa. Tapi tak apalah, daripada ada yang ngamuk padanya nanti.

Lain lagi dengan gadis yang saat ini rasanya ingin berlari ke belakang dan menendang satu persatu kepala laki-laki yang sedang ribut itu.

Enak saja masakannya dibilang ga enak lah, ga layak makan lah, apalah!Dia rela bangun pagi-pagi buta untuk membuat bekal tersebut bukan untuk dimaki-maki.

Hingga tanpa sadar gadis itu menusuk nugget di kotak bekalnya hingga garpunya membengkok, membuat tiga pasang mata menatapnya heran bercampur terkejut.

Varsha bersenandung riang, menata kotak bekal di depannya dengan sebaik mungkin.

Wanita paruh baya yang duduk di meja makan tepat di belakangnya menatap penuh selidik.

Sejak kapan anak gadisnya ini memasak? Terciprat setetes minyak pun ributnya minta ampun.

"Ngaku aja deh, ini bukan buat kamu kan?" Ibunya bertanya untuk kesekian kalinya.

Ketika Hujan TurunTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang