Bab 1 Duren

17.1K 1.1K 46
                                    

   Tahukah kamu apa itu duren? Yaps, duren adalah nama sebuah buah, buahnya satu doang betewe, udah nggak usah dipikir, pusing. Duren alias durian adalah king of fruits alias rajanya buah-buahan. Aku nggak tahu kenapa bisa jadi raja, mungkin karena dia punya tahta. Njay, kenapa aku jadi bahas buah? Emangnya aku kang buah? Aku, kan, cuma anak SMA.

Okay, aku lupa kenalan nih. Namaku Alea, anak SMA kelas 11 alias 2 SMA. Umur masih 17 tahun, sweet seventeen. Tapi nggak ada manis-manisnya, karena aku bukan air mineral. Bagiku usia 17 tahun ya biasa-biasa aja. Sekolah, ulangan, bolos, liburan, ngecengin guru ganteng, salam-salaman sama kakak kelas ganteng, jajan di kantin, nggak ngerjain PR, dan bel pulang berbunyi, pulang udah. Udah itu doang.

Nggak ada yang istimewa dari seorang Alea selain cuma modal cantik. Iya, aku ngaku sendiri kalau aku cantik. Serah mau dibilang over PD atau narsis, serah kamu deh. Bayangin, aku punya kulit putih dari almarhumah mama, mata bulat lentik dari mama, hidung mancung kecil dari mama, dan bibir tipis merah natural dari mama juga. Rambutku sepunggung lurus dan sedikit curly di bagian bawah nggak tahu dari siapa, mungkin mama juga. Tinggiku pas buat ukuran cewek 165 cm. Mungkin nurun mama ya, nggak tahu aku juga nggak pernah ketemu beliau sejak lahir.

Dari tadi yang dibahas mama terus, aku juga punya papa lho. Bukan tanpa alasan kalau aku sebut-sebut duren di awal tulisan tadi. Itu karena papaku seorang duren. Bukan, papaku bukan buah, tapi duda keren. Yaps, udah kubilang kan kalau mamaku udah tiada sejak aku lahir. Jadinya papaku adalah seorang single parent. Jadi papa sekaligus mama buatku.

Kenapa aku bilang papaku duren? Bayangin, papaku itu bak kloningannya Agus Harimurti Yudhoyono. Tahu dia siapa? Itu anaknya mantan presiden RI, seorang mantan tentara, berwajah khas Indonesia, masih nggak tahu juga? Punya smartphone, kan, please Googling! Mandiri kenapa sih jangan suka nanya mulu nggak usaha, males. Udah Googling belum? Kenapa, kalian terpesona sama visual Om AHY? Ya sama, tapi seleraku bukan bapak-bapak kok. Kurang lebih papaku kayak gitu.

Papaku juga seorang tentara berpangkat letnan kolonel bernama Yudhoyono Arya Harimukti. Ya ya ya aku tahu, mirip kan sama pak AHY! Jangan tanya kenapa bisa gitu, please nanya aja sama Yang Atas. Atas mana aku juga bingung. Nanya aja sama yang menciptakanku, he he he ngeles.

Pak Yudho, biasa aku memanggilnya, punya tubuh yang tinggi sekitar 178 cm. Kulitnya sawo matang. Hidungnya mancung, bibirnya tipis. Matanya tajam kayak mata pisau, please bosen sama mata elang. Alisnya nggak begitu tebal tapi penuh kharisma. Dan diusia beliau yang udah 42 tahun, masih segar bugar langsing dan atletis karena rajin olahraga. Wajahnya bersih tanpa jerawat dan brewok. Maklum duda keren kan harus jaga imej ya? Iyalah gitu.

Pokoknya Pak Yudho itu nggak disangka udah punya anak SMA umur 17 tahun, ya aku ini siapa lagi sih, duh! Saking mudanya itu penampilan sampai kadang aku dikira simpenannya. Bikin pusing sih ini. Pengen rasanya nato jidat kalau aku itu anaknya, bukan simpenan. Belum lagi kalau udah pakai seragam, makin kerenlah penampilan papa. Makin banyaklah yang naksir dan gencar deketin aku. Secara aku anaknya, sebelum naksir bapaknya deketin anaknya dululah. Kayaknya sih gitu modus mereka. Mereka siapa, ya tante-tante itulah.

Jadi, alasan kenapa papaku bisa punya anak SMA di usianya yang baru 42 tahun adalah satu, papa nikah muda. Kedua, habis nikah langsung dikasih hamil dan di tahun pertama pernikahan udah ada anak alias aku. Ketiga, wajah papaku emang awet muda. Keempat, papaku emang ganteng dari lahir. Okay, semoga beliau nggak denger aku muji gini. Bisa senyam-senyum entar.

Papa nikah saat usianya baru aja genap 25 tahun, di bulan Januari waktu itu. Lalu di usia 25 tahun lewat 10 bulan, lahirlah aku. Jadi, aku lahir bulan Oktober, tujuh belas tahun yang lalu. Papa nikah waktu masih letnan dua dan sekarang udah jadi letkol. Beliau menjabat sebagai danyon alias komandan batalyon di sebuah pangkalan militer di kota dingin, Malang Jatim.

Bruak!” sebuah suara keras membuyarkan lamunanku di pagi buta, nggak tahu juga kenapa kok buta. Mungkin kecolok sama malam. Betewe, ini pintu kamarku yang dibuka paksa sama Papa.

“Papa!” seruku kesal karena jantungku hampir rontok. Aku langsung bangun dari geliat malas.

“Alea, sudah jam berapa ini! Kamu nggak sekolah?” omel Papa yang sudah lengkap dengan seragam PDH, Pakaian Dinas Harian. Mirip kayak seragam PNS tapi warna ijo.

“Sekolah sih, cuma malas Pa,” jawabku yang dibalas wajah runcing Papa.

Tap! Tap!” Papa mendekat ke arahku lantas mencubit pipiku gemas.

“Kamu mau jadi apa kalau malas sekolah? Mau jadi preman ya?” omel Papa lagi.

Aku tersenyum usil. “Jadi anaknya Papa aja, Lea udah seneng. Jam pertama ulangan Fisika, Pa. Alea takut.”

“Papa nggak mau punya anak malas sekolah.” Pak Yudho geleng-geleng kepala. “Manusia apa yang takut sama pelajaran?”

“Manusia namanya Alea. Sumpah Pa, mendingan Lea disuruh lari keliling lapangan daripada disuruh ulangan Fisika. Remidi terus.” Maaf aku pasang mode manja, aslinya aku nggak suka bersikap manja. Aku kan pengen dibilang dewasa.

“Ya, nanti sore kita keliling lapangan. Atau sekarang aja, Alea nggak sekolah tapi keliling lapangan sama Om-om Baja Taja. Sambil hafalin rumus. Mau?” ancam Papa sambil pura-pura mendelik.

   Kuyakin beliau nggak sejahat itu sama anak semata wayangnya. Baja taja bukan nama barang fisika, tapi singkatan Bintara Remaja dan Tamtama Remaja.

“Mau asal sama Papa,” jawabku polos.

“Alea,” tekan Papa sabar, “Papa nggak suka anak yang bandel dan suka bolos ya! Mau jadi apa kamu? Kamu satu-satunya harapan Papa.”

“Iya tahu kok kalau Papa itu orangnya disiplin. Lea mau kok selamanya jadi anak Papa. Yang akan selalu jagain Papa,” jawabku menyebalkan.

“Jangan bilang kalau Papa mau nikah lagi ya, makanya nggak mau Lea jadi anak Papa selamanya? Iya kan, iya kan Pa!” imbuhku setengah menuduh.

“Azalea Danastri Harimukti, mandi sekarang juga!” ledak Papa sambil menyebut nama lengkapku.

   Aku langsung ngeloyor ke kamar mandi sambil menyambar handuk. Sesekali tersenyum penuh kemenangan. Mengganggu Papa adalah hobiku. Wajar, kan, ya anak umur 17 tahun melakukan itu? Akutuh suka banget gangguin beliau. Nglihat wajah ganteng beliau yang tetiba marah besar karena celoteh usilku itu menyenangkan pakai banget.

   Apalagi kalau sudah menyebut nama lengkapku, Azalea Danastri Harimukti. Azalea berarti bunga azalea. Bunganya cantik seperti aku sih. Danastri artinya anak kesayangan, yang tersayang. Bisa diartikan, gadis cantik seperti bunga, kesayangan Harimukti. Ah, namaku saja sudah seindah itu. Dan nama seindah itu bakalan disebut papa kalau beliau udah marah betul. Ya lucu ya takut, gimana dong kalau yang kupunya cuma papa. Maka kubuat hubungan kami seasyik mungkin.

“Mandi dan berpakaian lima menit, Alea! Papa tunggu di meja makan!” teriak Papa dari luar kamar mandi.

“Heh, dikira aku tentara apa bisa mandi dan ganti baju sesebentar itu!” gumamku kesal. Kualat deh aku, abis ngerjain orang tua sekarang ganti dikerjain.

Iyelah yang tadi aku ngerjain papa. Mana mungkin aku malas sekolah? Seenggak sukanya aku sama Fisika, tapi aku tetap mau sekolah. Aku nggak mau dong jadi sampah masyarakat dengan putus sekolah. Apa jadinya kalau anak semata wayang duda keren jadi sampah? Bauk dong, ya nggak, malu dong. Seorang Alea masih punya masa depan. Dan aku komit sama itu.

***

Bersambung...

Semoga bisa menghibur, maaf klo masih flaaaatt banget. Namanya juga masih perkenalan 🙏😌
*alesan

Papa Duren // RepublishTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang