Bab 3 Kesal pada Pandang Pertama

8.1K 964 45
                                    


“Masuk!”

Perintah Papa terdengar horor. Pandangan mata beliau jelas nggak santai. Seperti sedang membuntuti setiap langkahku. Tak butuh waktu lama setelah aku membagikan lokasi, Papa menjemputku dengan mobil dinas. Lengkap dengan membawa tongkat Danyon. Adegannya mirip sama guru galak di Harry Potter yang mau mendisiplinkan murid Hogwart yang badung mainan mantra. Semoga aku nggak disulap Papa jadi kodok, ya?

“Pa, Alea… ,” ujarku pelan membuka percakapan.

“Jelaskan di rumah apa maksud surat dari bu Meta?” tutup Papa angker sambil memandang lurus ke jalanan depan. Bukan beliau sih yang nyetir, tapi Om Rosid, supirnya.

“Iya Pak Yudho,” jawabku sambil menunduk takut. Gemetaran aku kayak lagi kedinginan. Aura kemarahan Papa sangat dingin, Teman-teman.

“Panggil yang benar, Alea!” suara Papa rendah dan membuat hatiku senat-senut.

“Siap Papa,” ralatku sambil meremas-remas jaket rajutku. Mulai detik ini pasang wajah nggak berdosa yuk, yuk mari!

Lima menit kemudian, kami sampai di rumah. Papa menggandengku turun dari mobil dan menuntunku masuk ke dalam rumah. Aku disuruh melepas jaket dan tas lantas duduk di ‘kursi pesakitan’. Baiklah, siapkan kuping dan penjelasan masuk akal untuk menghadapi kemarahan Papa. Pak Yudho itu ngeri-ngeri sedep kalau ngomel. Bikin keki dan nggak bisa tidur semalaman.

“Sudah tahu isi ini surat apa?” tanya Papa sekaligus sindiran keras bagiku.

“Panggilan buat Papa dari bu Meta karena Alea tiga kali nggak masuk kelasnya,” jawabku pelan. Aku cuma bisa menunduk nggak kuasa lihat wajahnya Pak Yudho.

“Apa alasanmu nggak masuk?” sambung Papa tegas.

“Alea nggak suka sama gurunya. Selalu mojokin dan suka nunjuk-nunjuk. Padahal udah tahu kalau Alea nggak bisa. Dia cuma ingin permalukan Lea di depan temen-temen, Pa. Dia itu nyebelin!” curahku jujur.

“Alea,” tekan Papa dengan suara rendah. “Itu tidak sopan. Bu Meta hanya ingin kamu lebih aktif di kelas. Kenapa kamu nggak belajar kalau nggak bisa?”

“Alea udah belajar, Pa. Cuma Lea emang nggak bisa nulis puisi atau mengarang indah. Apalagi drama, nggak bakat!” tentangku. Papa mengubah tatapannya menjadi lebih sabar.

“Alea, kamu pasti punya teman yang pandai kelas drama. Kenapa kamu nggak belajar sama dia? Mungkin kamu kurang usaha,” kata Papa dengan nada suara sabar. Nggak bakalan bisa Papa marah lama-lama sama aku.

“Lea udah usaha, Pa. Cuma emang nggak bisa,” sahutku pelan.

Papa menepuk jidatnya lalu membentuk tangan meminta penjelasan, “Lalu kenapa kamu bisa pulang cepat? Mana ngelayap lagi! Kamu mau bikin malu sekolah dan Papa?”

Aduh disembur lagi!” batinku takut.

“Enggak, Pa. Lea cuma males di sekolah,” jawabku putus asa.

“Iya kenapa, Alea?” suara Pak Yudho menggelegar bak petir di siang lobang.

“Bu Memet nyinggung Alea, Pa,” jawabku kesal. Papa menatapku tak percaya.

“Bu Memet? Alea, kamu yang sopan sama guru! Papa tidak pernah ajari kamu kurang ajar,” Pak Yudho kembali menyemburku lagi. Serius belain Bu Memet, emang mereka kenalkah?

“Iya dia juga nggak sopan sama Lea, Pa! Masa dia bilang ‘kamu pasti mengecewakan ibumu’, Lea kan nggak punya ibu! Itu nyinggung Lea,” tangisku mulai luruh. Membahas tentang mama hanya membuatku menangis.

“Alea emang salah. Bodoh nggak bisa nulis puisi, karangan, drama, apalagi sopan sama guru. Alea emang bodoh, Pa,” aku tersedu sedih. Emosiku yang sedari tadi tertahan keluar semua di pelukan Papa.

Papa Duren // RepublishTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang