“Evacuate! Evacuate!”
Teriakan itu terus menggema di kabin pesawat GA200. Teriakan di tengah teriakan-teriakan panik yang lain. Semua manusia di lambung burung besi itu panik, histeris, dan ricuh. Baru saja pesawat yang mereka tumpangi itu mengalami insiden, tergelincir di landasan pacu saat hendak mendarat.
Semua berebut ingin segera keluar. Tak peduli dengan tangisan bayi dan teriakan penumpang yang sudah renta. Semua panik, takut pesawat meledak dan sebagainya. Berbeda dengan para awak kabin yang berusaha tenang dan tetap waras. Berusaha menjalankan prosedur yang semestinya. Mengarahkan ke jendela darurat, mengarahkan cara membuka jendela darurat, dan memulai proses evakuasi.
Para awak kabin yang juga panik itu berusaha memandu para penumpang yang ketakutan. Siapa yang menyangka jika pesawat ini tergelincir karena landasan yang terlalu licin, sebab hujan menerpa terlalu deras. Menara ATC terlambat memberi peringatan, sehingga pilot terlambat mengambil keputusan.
“Lewat sini, Bapak! Sandalnya dilepas saja! Bapak meluncur lewat sayap.” Teriakan FA Irene terdengar lantang memandu evakuasi penumpang.
“Maaf Bapak, dilarang merekam, ya! HP-nya dimatikan!” tegur tegas salah satu pramugara yang bertugas.
Padahal mereka hanya punya waktu 90 detik untuk mengeluarkan semua penumpang dari lambung burung besi ini. Satu persatu penumpang meluncur turun. Begitupula dengan jendela darurat di sisi yang lain. Hujan deras tak dipedulikan lagi, mereka harus menjauhkan diri sejauh mungkin dari pesawat.
Pesawat bisa saja terbakar setelah ini.
Semua penumpang hampir turun. FA Azalea menyisir dari buritan belakang. Dia memastikan bahwa tak ada penumpang yang tertinggal. Itu sudah menjadi tugasnya, tak peduli dengan keselamatannya sendiri. Keselamatan penumpang yang paling utama.
Tersisa satu ibu muda yang sedang memeluk bayinya sembari menangis ketakutan. Dia takut meluncur ke bawah. Padahal detik penyelamatan hanya tinggal 20 detik saja.
“Ibu, silakan turun!” suruh Alea tegas.
“Saya takut, Mbak.” Si bayi kecil itu menangis, mungkin ketakutan juga.
FA Alea menyentuh lengan si Ibu. “Tidak apa-apa Ibu, awak kabin kami akan membantu. Mari Ibu!”
FA Alea berhasil menenangkan si ibu. Buktinya, ibu muda itu mau berjalan pelan menuju jendela darurat. Alea mengekor di belakangnya. Area kabin clear dari penumpang yang sudah masuk ke bis untuk evakuasi ke bandara.
“Peluk bayinya, ya, Bu!” pesan Irene sigap.
Ibu itu meluncur aman ke bawah. Dia dipapah oleh petugas yang berjaga. Sekarang giliran Alea dan Irene serta seorang pramugara, awak kabin terakhir yang akan dievakuasi. Mereka meluncur turun dengan aman. Evakuasi selesai.
Sesampainya di bawah, Alea melirik tunggangan kesayangannya itu. Besi kesukaannya itu terlihat lesu karena roda depannya patah. Pesawat keluar landasan sepanjang lima meter. Benda itu masuk ke rerumputan dan tanah yang basah. Awak kabin cantik itu terlihat sedih, walau dia berhasil menyelamatkan seluruh penumpang.
---Azalea Danastri POV
Aku bersimpuh di kedua lutut, menutup muka dengan dua tangan. Berusaha menata apa yang baru saja terjadi. Sesekali menghela napas berat karena kedua kakiku terasa lemas. Ini adalah kecelakaan pertama yang kualami selama empat tahun bertugas sebagai awak kabin.
Baru saja anggota medis memeriksa kondisiku. Aku tak terluka serius, hanya memar sedikit di bagian kening dan syok. Detak jantungku tak beraturan. Entah kena apa tadi. Aku juga masih blank. Pun saat ditanya oleh pihak otoritas bandara, aku hanya bisa menjawab sepatah dua patah kata. Masih syok berat, sumpah!
KAMU SEDANG MEMBACA
Papa Duren // Republish
RomanceDuren alias durian adalah king of the fruits. Raja dari buah-buahan. Kenapa bisa jadi raja? Mungkin karena duren punya tahta. *plak Azalea, 17 tahun, adalah anak duren. Bapaknya dia buah dong? Nggaklah, Absurd! Oh bapaknya dia duren? Iya, duren. Ohe...