Bab 27 Hari Setelah Putus

8.1K 1.2K 473
                                    

Kita pernah sejalan. Satu tujuan, tertawa dalam cinta. Merenda senja dan fajar dalam tawa bahagia. Kau bawa aku ke tempat tertinggi untuk memahami dunia, tapi di tempat tinggi jua kau meninggalkanku. Bukan benci, melainkan kagum, kita berpisah di persimpangan bukan karena cela. Karena cinta, kamu pergi. Hanya memikirkanku, kamu tersakiti. Ada hal yang tak bisa kupinta lagi, kembali ke sisimu.”

Fajar dan senja menjadi kelabu. Aku tak memastikan bisa melupakanmu. Kamu datang dan pergi begitu saja. Tapi bekasmu terlalu indah untuk dihapus takdir. Aku, akan selalu mengingatmu. Sebagai pemacu, pelecutku untuk maju.”

Mood terbaik untuk menulis puisi adalah saat sedih atau patah hati. Aku sedang mengalami keduanya. Maka, dua bait puisi itu tercipta hanya dalam hitungan menit. Padahal jika waktu normal, bisa semingguan aku memikirkan kata pembukanya saja.

Aku sakit hati, tapi tak bisa membenci Kenan. Dia terlalu indah untuk dibenci. Kenan masih mencintaiku hingga detik ini. Sepandai apa pun dia menyembunyikannya, tapi tetap kelihatan dari sorot matanya.

Malam itu, setelah putus, dia mengantarku pulang. Dia juga menghadap pada papa. Berkata semua dengan gamblang bahwa kami telah selesai. Tentu saja papa kaget bukan kepalang. Sebelumnya kami seperti tak terpisahkan, tapi putus juga.

Papa berusaha mencari jawaban dariku, tapi sia-sia. Aku hanya menangis di pelukan beliau. Tatkala beliau meminta maaf karena hampir memukulku, tangisku makin menderu. Hari itu adalah hari terburuk sepanjang sejarah hidupku.

Begitu pula esoknya, aku hingga tak masuk sekolah karena demam tinggi. Papa kalang kabut merawatku hingga tak masuk dinas. Aku hanya membisu saat papa menawari ini dan itu. Aku tak mau apapun selain cuma Kenan, tapi itu nggak mungkin.

“Alea, kamu mau ke mana?” tanya Papa heboh saat melihatku keluar kamar.

Aku sudah berseragam hendak berangkat ke sekolah di pukul 7 pagi. Jelas sudah terlambat, tapi tetap nekat. Melawan peraturan yang selalu kulanggar dan melawan kesakitan di badan. Tak ada waktu untuk bermuram durja, aku harus sekolah demi masa depan.

“Alea dan Kenan putus demi masa depan, Pa. Sekarang Lea mau rajin sekolah,” jawabku nanar sambil memakai tas.

Jalan saja sempoyongan gimana mau menyongsong masa depan. Dasar aku, begonya nggak abis-abis!

“Alea!” tahan Papa tegas.

“Lepasin, Pa! Ini yang Papa mau, 'kan? Lea sakit hati dan hancur, terus cuma ingat Papa? Iya gitu!”

“Nak, tolonglah jangan seperti ini! Semua ini demi masa depanmu. Kamu sudah kelas 3 SMA, sebentar lagi UN. Bukan saatnya kamu memikirkan masalah cinta-cinta, kamu seharusnya mikirin masa depan,” ujar Papa sabar.

“Iya, Alea pasti memikirkan masa depan, Pa. Namun, haruskah memaksa keadaanku? Aku cuma ingin merasakan pacaran, apa itu salah?”

“Waktunya belum tepat, Nak.”

“Apa nanti nunggu Alea jadi perawan tua?”

Papa hanya terdiam mendengar penyataanku. Jelas beliau bingung dengan tingkah laku anehku.

“Suatu saat kamu akan mengerti betapa pentingnya cita-cita bagimu,” ucap Papa pelan.

“Terserah Papa. Sesuai janji Papa, kalau Alea putus sama Kenan, Papa juga harus putus sama bu Memet!”

Raut wajah Papa berubah total. Seperti baru kena badai salju.

“Nggak mau, Pa? Nggak mau 'kan kehilangan orang yang Papa cinta? Sama Pa, Lea juga nggak mau kehilangan Kenan!”

Aku lantas berjalan pergi meninggalkan Papa yang masih melongo. Namun, kembali ditahan oleh sebuah tangan. Kali ini milik Purba aneh itu.

“Lepasin aku!” rontaku lemas.

Papa Duren // RepublishTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang