Kami berempat duduk berhadap-hadapan di sebuah kafe di kawasan taman kota Malang. Cuma mesen beberapa minuman, selebihnya ‘sidang’. Kali ini Papa nggak jadi komandan batalyon, tapi seorang oditur militer.
Aku cuma bisa nunduk nggak guna sambil sesekali melirik ke arah wajah Kenan dan Papa yang nggak santai. Namun, si Bu Memet kelihatan santai sekali. Nggak tahu sih apa emang udah dari orok gitu apa gimana.
Kenan tak berani bicara apapun sebelum diperintah Papa. Dia hanya menunduk, melipat kedua tangannya di pangkuan, sambil sesekali membalas lirikanku. Seolah berkata ‘runyam kabeh amargo awakmu!’ (Runyam semua karena kamu!)
“Saya nggak nyangka kalau hubungan kalian lebih dari sekedar guru dan murid.” Wah, letusan pertama dari Papa.
“Kayaknya kamu tidak mengindahkan peringatan saya, Ken! Kamu memang sengaja simpan foto anak saya di dompetmu?” kata Papa pada Kenan yang langsung menegakkan badannya.
“Kenan nyimpan fotoku, Pa?” sahutku nggak percaya.
Papa mendelik. “Jangan bicara sebelum Papa suruh, ya, Alea!” tekan beliau gemas.
“Siyap, Pa …,” tundukku lagi. Sesekali sambil meremas ujung bajuku kesal.
“Tolong jelaskan yang gamblang, sebenarnya apa hubungan kalian! Dimulai dari Kenan!”
“Siap!” jawab Kenan tegas. “Izin Komandan, saya dan Alea memang lebih dari teman atau guru dan murid. Kami memang pacaran. Izin petunjuk?”
Seolah baru kena setrum, wajah Papa sangat kaku.
“Alea?”
“Idem sama Kak Kenan, kami memang pacaran, Pa. Baru dapat berapa minggu,” jawabku serius.
Papa menatapku frustasi. “Kamu tahu, 'kan, Kenan bukan jomlo lagi? Kenan sudah punya Andina, mereka sudah bersama untuk sekian lama.”
“Mereka udah putus, Pa. Tanya aja kalau nggak percaya,” jawabku berani.
Papa menghela napas, panjang sekali. Kayaknya geleng-geleng sama kelakuanku yang aneh ini. Halo, Papa juga nggak lebih aneh kalik dari aku. Dari ribuan cewek lajang, kenapa sih harus Bu Memet Jamet ini?
“Betul, Ken?”
“Siap, betul Komandan! Saya dan Andina memang sudah putus.” Kenan terlihat tegar walau dicerca Papa, orang yang paling diseganinya.
“Kalian putus karena Alea?” tuduh Papa.
Kenan menarik napasnya dan berusaha menata kata-kata. “Siap tidak Komandan. Kami putus karena berbeda prinsip.”
Jawabannya masih sama dong. Bukan karena aku yang bikin mereka putus, tapi mereka emang udah niat putus.
“Pasti kalian sering berantem, 'kan? Apalagi semenjak kamu mentori Alea!” vonis Papa makin menjadi.
“Siap!” jawab Kenan bingung. “Izin, kami memang sering bertengkar.”
“Pernah karena Alea?” giring Papa.
“Siap!” Kenan kembali ragu. “Pernah Komandan,” jawabnya lirih.
“Brak!” Meja kafe digebrak.
Papa menunjuk Kenan emosi, “Kamu seharusnya tidak boleh membiarkan ini terjadi, Ken! Kamu itu harus tegas sebagai lelaki. Tidak seharusnya kamu tempatkan Alea sebagai penyebab pertengkaran kalian. Cut saat itu juga!”
“Siaaap salah, Komandan!” jawab Kenan penuh kesalahan.
Lah, yang salah siapa? Aku Pa, akuu! Eh, Papa tiba-tiba mengalihkan pandangan padaku.

KAMU SEDANG MEMBACA
Papa Duren // Republish
Roman d'amourDuren alias durian adalah king of the fruits. Raja dari buah-buahan. Kenapa bisa jadi raja? Mungkin karena duren punya tahta. *plak Azalea, 17 tahun, adalah anak duren. Bapaknya dia buah dong? Nggaklah, Absurd! Oh bapaknya dia duren? Iya, duren. Ohe...