Bab 40 Dua Puluh Empat Jam

10.6K 1.2K 114
                                    

Tidur adalah kebutuhan biologis manusia. Namun, bagiku tidur adalah kenikmatan abadi. Mungkin bukan aku saja, tapi juga manusia yang profesinya sama denganku atau manusia gabut lainnya. Tidur adalah salah satu anugerah terindah yang pernah dialami oleh manusia.

Kenapa sih aku begitu lebay menggambarkan sebuah kata tidur, itu karena semenjak jadi awak kabin aku sleepless alias kurang turu, tidur. Tidur sejam atau dua jam asal berkualitas udah cukup bagiku saat bekerja. Mau tidur di kasur atau di jumpseat atau di ruang rahasia pramugari sama aja, yang penting merem.

Naaaaah, kekurangan itu akhirnya menjadi surplus tatkala aku memutuskan untuk cuti 8 hari ini. Aku bisa puas merem yesssss, asikkk, tanpa ada yang berani mengganggu. Habis Isya tembus Subuh. Beuh, untung nggak busuk itu bantal kena aku terus.

Papa ataupun mama nggak ada yang tega bangunin aku. Melihat aku merem sambil sedikit ngiler juga nggak pernah ditegur. Kasian katanya. Asyiklah, kemalasan yang legal ini sih.

Kecuali, sidia! Siapa lagi kalau bukan Kenan Rewel. Serius tentara ganteng satu itu nggak pernah suka lihat aku malas-malasan. Alih-alih papa membebaskan kemalasanku, dia malah melarang habis-habisan. Pagi saat matahari baru muncul, biasanya dia juga sudah muncul di depan rumah. Oh God, why waktu cuti kami bisa barengan?

“Ngapain sih?” protesku sambil manyun.

Kenan sudah nyengir sinis di depan pintu kamarku. Dengan pakaian santai, training hitam dan kaos oblong warna coklat, dia mengajakku lari pagi.

“Nggak ada waktu bermalasan, Pramugari!” sapanya resek.

“Ada! Aku lagi cuti, Kak!”

“Aku juga lagi cuti, tapi nggak malas. Ayo lari! Nanti kamu gendut kalau makan tidur mulu!” paksanya sambil mendorongku masuk kamar.

Aku celingak-celinguk sambil membaca situasi. Dasar tentara aneh, berani betul dia menerobos kamar seorang gadis suci macam aku, ya meskipun aku yayangnya sih!

“Keluar nggak, Kak!” ancamku takut. Namun, dia tetep cuek nggak peduli.

Kenan mengedarkan pandangan ke seluruh kamar. “Wah, kamar pacarku rapi juga ya? Kukira berantakan macam mukamu!”

“Heh, emang ada pramugari berantakan? Nggak! Lihat nih bangun tidur, aku tetap kinclong!” belaku tak mau kalah.

“Siapa tahu kamu pramugari karbitan, yang kelihatannya doang bagus. Nyatanya zonk!” ejeknya sambil membuka lemariku.

Aduh, itu sih lemari pakaian dalamku.

“Ups!” ceplosnya karena aku terlambat.

Mukaku sudah merah padam. “Kurang ajar banget sih!”

“Aku lebih penasaran sama isi daripada casing-nya,” godanya mesum.

“Sana ih! Keluar! Aku mau siap-siap! Lari di mana sih?” alihku membuyarkan rasa malu.

“Di Surabaya,” jawab Kenan singkat, tapi kontan membuatku terlonjak.

“Hah, nggak usah ngawur! Udah sana!” usirku sambil mendorong tubuh besarnya.

Kenan menahan tanganku dengan kuat. “Aku udah lihat sekilas isi kamar dan pakaian dalammu. Sekarang giliranmu lihat kamarku di SBY. Mau nggak?”

“Kakak ngajak aku ke rumahmu? Cuma buat lihat kamar doang?”

“Iya,” jawab Kenan pendek sambil mengerlingkan matanya.

“Yakin?” ulangku.

“Iyalah! Jangan ngarep kamu mau kukenalkan ke orang tuaku, ya! Aku nggak mau malu, kenalin cewek yang belum pasti mau kuajak nikah atau nggak. Kalau kamu bersedia nikah sama aku, ya aku kenalkan sebagai calon istri,” celoteh Kenan cuek.

Papa Duren // RepublishTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang