Bab 32 Manusia Bernama Azalea Itu ...

10.3K 1.4K 639
                                    

"Di antara gumpalan awan Kumulonimbus kuurai rasa rindu padamu. Turunlah hujan hingga bumi menyampaikan untukmu. Empat warsa kita belum bersua juga, entah tahun ini."

Selamat Pagi Dunia yang Masih Mengantuk! Selamat pagi Jakarta yang juga mengantuk. Bagaimana tidak mengantuk, ini masih jam 2 pagi! Di mana aktivitas ngiler sambil memeluk guling kesayangan adalah kenikmatan abadi. Apalagi hujan gerimis menemani malam, makin syahdu. Namun, di pagi yang indah dan dingin ini aku harus membuka mata demi menyongsong dunia.

Halah, bahasaku sok sip banget sih. Iya dong, tidak selamanya aku menye-menye, sebab usiaku makin dewasa saat ini. Berbicara tentang usia, tahun ini aku akan berusia 22 tahun. Udah tua nggak sih? Ya tergantung mau dibandingin sama siapa, kalau sama anak PAUD ya tua.

Demi apa sih aku bangun di jam 2 pagi ini? Jawabannya adalah demi GA270. Apaan tuh, tolong Alea, jelasinnya yang bener! Siap, GA270 adalah nomor penerbangan kelas ekonomi pesawat Garuda Indonesia. Dan aku bangun di jam segini untuk mempersiapkan diri mengikuti flight pesawat itu.

Penerbangan jam 7 pagi. Maka aku bangun empat jam sebelum perkiraan waktu penerbangan yakni jam 3 pagi, tapi aku memilih lima jam sebelum ETD (Estimated Time Departure). Pengen nongkrong dulu aja sambil ngelamun di depan cangkir teh. Aku bukanlah penumpang, tapi awak kabinnya.

Ya, aku adalah seorang pramugari alias FA alias Flight Attendant sebuah maskapai pelat merah milik pemerintah. Ini adalah tahun keempat aku bergabung dengan si garuda biru ini.

Serius seorang Azalea Danastri Harimukti memilih pekerjaan sebagai FA? Nggak kebayang kan seorang Alea yang nyablak, koplak, alay, menye-menye, manja, dan ceroboh itu jadi sosok yang anggun, kalem, cerdas, sopan, cekatan, dan selalu on-time? Aku sendiri juga nggak percaya dengan pencapaianku kok.

Dorongan semua pihak dulu, termasuk mantan, yang ingin aku memikirkan cita-cita membuatku memilih profesi ini. Bukan jadi koki, ilmuwan, guru, atau dokter, aku justru memilih pramugari sebagai cita-cita. Nggak tahu kenapa, suka aja menjajal dunia yang baru dan menantang.

FYI, pramugari adalah profesi yang nggak pernah terbesit sedikitpun di dalam benakku. Tiba-tiba pengen aja waktu lihat ada selebaran ditempel di depan ruang BK sekolah, sekolah pramugari. Kayak keren gitu deh.

Kusesap teh melati Sari Wangi sambil memikirkan papa. Biasanya sebelum flight gini, papa selalu meneleponku. Memastikan aku sehat dan baik-baik saja. Memberiku serentet pesan yang sama setiap waktu.

“Dirrrttt!”

Ponselku bergetar, ada nama Pak Yudho di sana. Tuh kan barusan bilang apa.

“Halo Pa?” sapaku pelan. Takut membangunkan rekan satu kamarku di apartemen, mbak Linda. Kami memang menyewa satu kamar di apartemen di kawasan Bandara Soekarno Hatta.

Alea, kamu terbang jam berapa hari ini?”

“Jam 7 pagi, Pa. Hari ini tiga landing terus pulang. Ini udah bangun dan mau siap-siap,” jawabku pelan.

Jangan lupa berdoa, shalat, makan yang kenyang, jangan sampai masuk angin, musim sedang buruk. Pastikan semua aman dan sesuai tempatnya. Jangan membuat masalah di sana, baik-baik sama senior dan junior. Jangan lupa kabari Papa kalau mau take-off dan landing. Pokoknya hubungi Papa dalam kesempatan pertama!”

Aku mesem. Inilah serentet pesan itu. urutannya sama, kalimatnya sama, serius Papa kayak lagi hafalan.

“Siap, Papa!” jawabku pendek sambil menahan senyum.

“Pasti lagi senyum!” tebak Papa.

“Nggak Pa …,” aku melipat mulut dengan tangan.

“Oeeekkk!”

Papa Duren // RepublishTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang