Bab 29 Melepasmu dan Melepas Duren

8.1K 1.3K 357
                                    

Sore ini mungkin jadi sore bersejarah bagi papa dan juga dia, bu Meta. Lidahku berasa mati rasa karena manggil dia kayak gitu. Terpaksa nggak terpaksa, nggak tahulah apa. Sore ini aku diajak paksa papa menemui sang calon istri di sebuah restoran jawa di pusat kota.

Sore ini aku tak sendiri, om Purba dan om Rosid juga diajak. Cuma mereka nunggu di bagian luar restoran, katanya lebih bebas dan Purba bisa ngerokok. Hilih, ni orang nggak berubah juga padahal udah pacaran sama Karla, bedanya dia udah ngerokok elektrik gitu aja. Kata Karla, supaya bau asapnya bisa gonta-ganti, bisa bau cilok juga.

Bahas papa dan bu Meta aja! Walau terpaksa, aku turut menemani beliau. Sebab sore ini ada yang harus kubicarakan dengan mereka juga, iya perihal cita-cita. Nggak ada waktu lagi, aku juga harus meletuskan sebuah inovasi baru.

“Dik Meta, mari silakan duduk!” sambut Papa ramah pada seorang wanita bergaya anggun.

“Terima kasih banyak, Mas Yudho,” jawabnya sambil tersenyum dan menyibak rambut.

Mau dipinjemin karet rambut, Bukk? Geli juga pas dia manggil pak Yudho ‘Mas’. Aduh dasar aku!

“Hai, Alea!” sapanya ramah. Nggak kayak biasanya yang mau nerkam orang.

Aku membentuk sapaan dengan lima jari. “Hai juga, Bu.”

“Maaf menunggu lama, tadi daerah rumah saya macet,” ujarnya beralasan.

“Ah nggak apa-apa, Dik. Langsung makan saja atau mau appetizer dulu?” tawar Papa bungah. Wajahnya kayak disenteri gitu, terang amat.

“Kayaknya yang ringan dulu aja, kita mau bicara 'kan, Pa?” selaku karena tak tahan melihat keuwuan mereka.

Iri bilang, Le!

“Aduh Alea, ya, udah mari kita makan yang ringan dulu aja!” ujar Papa sambil mengode pelayan restoran.

Papa duren yang bentar lagi nggak duda lagi memesan rangkaian buah tropis sebagai hidangan pembuka. Oke, biar lancar ngomongnya jadi makan buah. Baiklah, aku memang semacam spesies burung-burungan.

“Hehehe, Alea ceriwis juga, ya,” komen Bu Meta sambil tersenyum.

Aduh, mulai sekarang aku harus membiasakan diri untuk dikomentarin mulu sama guru killer sekolah ini. Apakah keputusanku ini gila? Nggak tahu wis, aku begini demi papa.

Papa mulai menata omongan setelah mengunyah potongan jeruk. “Baiklah, kita langsung bicara saja. Jadi, pada akhirnya Alea memberikan restu pada hubungan kita, Dik.”

“Ah, iya, Mas. Saya masih kaget walau sudah mengetahuinya,” jawab Bu Meta kikuk.

Lah ngapain kaget, 'kan udah tahu!

“Seneng, 'kan, Bu?” ceplosku tanpa sadar.

Papa menyentuh punggung tanganku. “Tentu saja Bu Meta senang, Nak. Ini adalah hal terhebat yang pernah anak didiknya lakukan. Anak didik yang sebentar lagi akan jadi anaknya.”

“Anak tiri, Pa,” ceplosku gitu aja.

Raut muka Papa agak berubah. Aku salah ngomong, ya?

“Alea, makan melon dulu, ya?” alih Papa supaya suasana nggak aneh. Aku dijejali melon.

“Anak saja, Alea. Tidak perlu menambahkan kata ‘tiri’, Ibu akan berusaha sebaik mungkin untuk mendidikmu.” Bu Meta angkat bicara.

Wajahnya tak terlihat marah, seperti biasa. Malah dia tersenyum. Cukup aneh untuk ukuran guru killer.

“Ibu beneran bisa sabar ngadepi saya? Saya peninggi emosi lho,” kataku spontan.

Papa sudah menutup muka dengan kedua tangannya. Kayaknya aku mulai mengacau situasi.

Papa Duren // RepublishTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang