Kepergian Papa nugas ke luar kota ada baiknya juga. Pertama, aku bisa bangun pagi sesuka hati. Kedua, bisa HP-an sampai tengah malam. Ketiga, bisa bebas di rumah. Berkreasi dengan dapur dan bahan makanan. Keempat, bisa sering ketemu Kenan. Iyo-iyo meskipun dia udah punya pacar.
Aku nggak bermaksud ganggu hubungan Kenan kok. Aku bukan pengganggu hubungan orang meski jomlo kebelet pacaran. Aku sadar diri, serius!
Pagi ini, aku punya kesempatan untuk memandangi Kenan di rumah, sebab papa menyuruhnya sarapan. Sekalian ngecek aku masih utuh atau nggak.
“Cepet datang, ya, cepet cobain masakanku!” gumamku sambil menata piring berisi mie siram kuah udang pedas.
Baru percobaan sih semoga enak. Tapi kayaknya layak makan kok, Mbak Samina sampai nambah dua kali tuh. Geleng-geleng kepala aku melihat tingkahnya.
“Ni uang sakumu hari ini!” Sebuah uang dua puluh ribuan warna hijau terpampang nyata di depan mataku.
“Eh gila-gila, ayam gila!” pekikku.
Aku mendelik menatap Kenan. Bisa nggak sih dia kasih salam? Kalau nggak bisa salam sayang, selamat pagi kek apaan. Nggak punya adab nih manusia, tapi aku kok demen.
“Aneh!” celetuknya sambil melirik isi meja makan.
“Nggak bisa salam dulu ya, Om?”
“Pletak!”
“Aduh! Apaan sih!” protesku.
“Kan kamu berhak dijitak kalau manggil saya ‘om’.”
Kenan lantas menaruh uang di atas meja dan beringsut pergi. Lah, ngeloyor. Jangan dong! Selalu aja gitu, datang dan ngeloyor seenaknya sendiri. Mirip jelangkung.
“Om, tunggu!” tahanku sambil memburu ke arahnya.
Dia berbalik dan kepalaku terantuk dadanya. Hmm wanginya itu dada, disemprot apaan! “Mau dijitak lagi, ya?”
“Nggak, Kak,” aku meringis sambil masih meresapi aroma dadanya. Skinship pertama kami yang nggak disengaja, tapi dia nggak nyadar itu.
“Mau nggak nyicipin masakanku? Sarapan dulu di sini seperti petunjuk papa?” tawarku setengah malu.
Dia menaikkan satu alisnya, “Nggak makasih, saya masih pengen hidup!”
“Yee, dikira aku masukkin racun apa?”
“Bisa aja, kan?”
“Aku nggak sejahat itu, ayolah Kak! Enak lho menunya, Mbak Samina aja sampai nambah-nambah itu,” ajakku sambil menunjuk Mbak Samina yang meringis memandangi kami.
Kenan melihat Mbak Samina yang sekarang malah senyum sok imut dan memasang V sign, semacam tanda peace gitu. Ih sok muda amat nih embak-embak.
“Kamu yang jamin kalau saya sakit perut?” tanyanya aneh.
“Iya-iya!” paksaku.
Tubuh tinggi Kenan akhirnya mau duduk di kursi. Yeslah, bisa modusin dia pakai hasil masakanku.
“Gimana?” tanyaku antusias saat dia melahap sesendok mie. Suapan pertama.
“Hem, gimana, ya?” jawabnya gantung.
“Masa nggak enak?” tanyaku bingung.
“Teruslah berkarya meskipun nggak guna,” jawabnya sambil meringis usil.
“Resek!” umpatku dalam hati.
“Nggak boleh lho ngejek makanan. Dosa!” simpulku sambil duduk di sebelahnya. Berusaha sabar.
KAMU SEDANG MEMBACA
Papa Duren // Republish
RomanceDuren alias durian adalah king of the fruits. Raja dari buah-buahan. Kenapa bisa jadi raja? Mungkin karena duren punya tahta. *plak Azalea, 17 tahun, adalah anak duren. Bapaknya dia buah dong? Nggaklah, Absurd! Oh bapaknya dia duren? Iya, duren. Ohe...