Yudhoyono Arif Harimukti POV
Saya tersenyum bangga saat mendapati Alea tersenyum bahagia sambil memegang toganya. Hari ini dia lulus dari bangku SMA. Sekolah yang telah membinanya selama tiga tahun telah ditamatkan dengan baik.
Anak semata wayang saya, Azalea, menjadi lulusan terbaik pertama dari ratusan siswa lainnya. Saya sungguh bangga pada pencapaian anak itu, mengingat malas dan badungnya. Dulu waktu kelas 11 seperti tak ada gairah sekolah. Namun, siapa yang sangka kalau sekarang dia malah lulusan terbaik.
Dia lulus dari sekolah ini dan menjadi alumni. Tak hanya predikat baru yang disandangnya, melainkan anggota keluarga baru, yakni ibu baru. Guru galak, disiplin, dan tegas itu telah resmi menjadi istri saya dan mama baru Alea.
Saya tahu Alea masih canggung memanggilnya “Mama”. Dia kebanyakan memanggil dengan sebutan “Ibu”. Saya tak bisa memaksa keadaan, mungkin memang berat bagi Alea. Apalagi kondisi hatinya tak kunjung membaik setelah ditinggal oleh Kenan.
Ah, saya juga hanya bisa tersenyum bangga saat mengingat tentang danton itu. Anak muda yang sopan dan penuh prestasi itu sekarang ada di negeri seberang. Membawa nama baik Indonesia dan satuan di kancah internasional sebagai pasukan PBB.
Dia pemuda yang bermimpi tinggi. Oleh karena itu, saya senang dia menjadi mentor Alea. Terbukti, anak saya menjadi rajin belajar dan belajar hal baru dari Kenan, cinta.
Sayangnya, waktu mereka tak tepat. Alea bertemu Kenan saat dia harus mengejar cita-cita. Sejujurnya saya tidak menyetujui hubungan mereka bukan karena tak suka pada Kenan. Melainkan, karena saya teramat sayang pada mimpi-mimpi mereka. Sayang kalau harus terkubur karena cinta semata.
“Alea, senyum yang lebar lagi, Nak! Biar difoto Papa!” suruh Dik Meta alias mama Alea sambil tersenyum riang.
“Udah lho Ma, senyum simetris ini!” jawab Alea sekenanya.
Saya hanya tertawa melihat tingkah keduanya. Namun, saya tahu senyuman Alea tak lepas seperti biasa. Saya tahu dia sedang menyembunyikan sesuatu dari papanya ini. Saya kenal Alea dari bayi, maka tahu bagaimana wataknya.
“Aleaaa! Selamat ya sudah juara 1 paralel! Sohibku kereeeen!” Karla, sahabat baik Alea menyalami dan memeluknya.
“Terima kasih. Selamat Karla udah juara 30. Itu bagus lho!” balas Alea polos.
Entah apa logika anak saya itu. Bagaimana bisa juara 30 kok bagus? Anak zaman sekarang memang aneh-aneh, ya?
Mereka berpelukan erat, tak ada yang memisahkan. Sementara itu, ajudan saya, Purba memandangi keduanya dengan lekat. Seolah bangga pada pencapaian Karla, yang merupakan kekasihnya. Bangga juga pada pencapaian Alea, sebagai temannya. Saya cukup kasihan melihat Alea lajang sendiri.
“Ayo Karla foto juga!” suruh saya tangkas.
Purba mendekat. “Izin Komandan, biar saya yang memotokan.”
“Makasih Purba. Saya bisa foto sama anak saya,” ucapku senang.
Purba menegakkan badannya penuh hormat. Anak muda yang satu ini juga mulai berubah. Dia mengurangi intensitas merokok karena sayang pada badannya. Baguslah.
Sesi foto bersamapun selesai. Acara perpisahan dan wisuda di sekolah Alea juga rampung. Kini saatnya memanjakan anak itu, atas kerja keras dan pengorbanannya. Saya hendak mengajaknya makan bersama. Sepuasnya dan sekenyangnya, bersama Karla, Purba, dan juga mama barunya.
Saya tahu, Alea sampai mimisan karena belajar keras setiap hari. Agaknya dia tak ingin mengecewakan papanya ini. Tak ingin mengecewakan seseorang itu, Kenan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Papa Duren // Republish
DragosteDuren alias durian adalah king of the fruits. Raja dari buah-buahan. Kenapa bisa jadi raja? Mungkin karena duren punya tahta. *plak Azalea, 17 tahun, adalah anak duren. Bapaknya dia buah dong? Nggaklah, Absurd! Oh bapaknya dia duren? Iya, duren. Ohe...