"Vanny!" teriak Gabriel dari bawah.
Vanny keluar kamar dengan piyama Pink nya. Menuruni tangga dengan wajah malas.
"Why, Dad?"
"Vanno kemana? Dia nggak keliatan dari tadi."
"Vanno izin pergi nginap dirumah temennya tadi," Yana berjalan mendekati mereka dengan dua koper ditangannya.
"Mommy sama Daddy mau jalan, kapan?" Vanny duduk diantara orang tua nya.
"Nanti, setelah Sindy datang kesini sama anaknya," jawab Gabriel sambil menyeruput coffe nya.
"Daddy kapan balik?"
"10 hari dari sekarang, kira-kira."
"Kenapa?" tanya Yana sambil membelai lembut rambut Vanny.
"Vanny nggak mau ditinggal sendiri," Vanny cemberut.
Yana dan Gabriel saling tatap. Kemudian kembali menatap putrinya dengan senyuman.
"Vanny nggak sendiri. Tadinya, kita mau titipin kamu dan Vanno dirumah Grandma. Tapi, Grandma Daddy lagi di Jepang. Dan Grandma Mommy lagi di India buat nikahan sepupu jauh uncle Dika. Jadi, mau nggak mau kamu disini sama anaknya Sindy," jelas Yana.
"Iya, kami juga bukan cuma buat kerja pergi kesana, Vanny," tambah Gabriel.
Vanny mendongak, "Untuk apa lagi?"
"Vanny pengen ketemu Kak Vian, kan?"
Vanny mengangguk.
"Kami akan coba Cari Vian di sana. Karena, dulu Vian hilang di Paris. Jadi, setelah Daddy selesai di kanada, Daddy akan susul Mommy dan cari Vian," jelas Gabriel.
"Kenapa sih, Kak Vian kok bisa hilang?"
Yana dan Gabriel saling tatap. "Karena.. Uhm..,"
DingDong!
"Permisi!"
"Mommy bukain dulu, Ya." Yana berdiri dan berlari menuju pintu.
Cklek!
"Sindy!" pekik Yana dan mereka berpelukan.
"Sayang, Sindy datang!" teriaknya. Kemudian beralih pada seorang gadis yang berdiri dibelakang Sindy, "Hai! Kamu Putri Sindy?"
Ia tersenyum. Kemudian menyalami tangan Yana, "Sheilla, Tante."
"Ah, Yana. Cantik banget kamu."
Gabriel dan Vanny datang dari arah belakang.
"Hai, Sin!" sapa Gabriel.
"Hai!"
Sheilla menyalami tangan Gabriel, "Sheilla, om" kemudian beralih menatap Vanny sambil tersenyum, "Hai, Van!"
Vanny mengangguk canggung. Ia baru tahu jika Sheilla adalah anak Sindy. Otomatis ia adalah kakak Steve. Vanny menatap Sindy kemudian mencium tangannya.
"Anak lo satu lagi, mana?" tanya Gabriel.
"Ma? Koper aku sama Kak Shei udah aku keluarin. Koper Mama juga."
Sindy tersenyum, "Ini!" tangannya menunjuk cowok tinggi disebelah nya.
"Steve!?" pekik Yana.
Steve menoleh. Sambil tersenyum ia menyalami tangan Gabriel dan Yana, "Malam Mom, Dad."
"Steve anak lo?"
Sindy tersenyum, "Iyalah.. Masa anak tetangga."
Candaan receh Sindy mampu membuat orang-orang itu tertawa. Kecuali Vanny yang menatap datar Steve dari belakang punggung Daddy nya.
KAMU SEDANG MEMBACA
S [Selesai]
Teen FictionDingin. Satu kata yang cocok mendeskripsikan dirinya. Hangat. Itu juga cocok. Bagaimana bisa? Dingin tapi hangat? Stevanny. Satu nama yang dapat menjelaskan itu. Menjadi dingin bukan keinginannya tetapi sebuah keharusan. Menjadi hangat memanglah k...