Hai, hai, hai!!
Akhirnya aku bisa Update S lagi setelah sekian lama diam, hehe.
Maafkan aku yang tanpa sebab gantungin cerita ini. Kedepannya, aku bakalan lebih sering up karna udah mau tamat, yeyyyy!Happy reading!!
🌹🌹🌹
Harus menjalani terapy memang sudah keputusan Vanny. Namun, semakin lama, Vanny mulai bosan. Apalagi dengan efeknya. Vanny menjadi kesusahan melakukan apapun.
Seperti sekarang ini. Setelah terapy satu jam yang lalu, Vanny masih pusing dan lemas. Memang, satu tahun lagi ia akan sembuh walaupun tidak total. Tapi, ini membuatnya tersiksa.
Cklek
Pintu terbuka menampilkan sepasang manusia yang terlihat sangat mesra. Ya. Khal dan Sisca.
"Hai, Vanny!" Sisca memeluk Vanny erat.
Vanny hanya tersenyum dan tak sanggup membalas pelukan Sisca.
"Gimana? Udah baikan?" tanya Sisca yang sudah duduk di depan Vanny.
Vanny tersenyum. "Lumayan."
"Masih lemes atau pusing, nggak?" tanya Khal.
"Lumayan," ulang Vanny.
"Ya udah, lo tidur aja deh. Kita nggak ganggu," Sisca berdiri.
"Kalian mau ke mana?" tanya Vanny dengan suara payaunya.
"Ngedate," Sisca tersenyum malu.
"Oh," Vanny kembali fokus membaca novelnya.
"Ya udah, kita pamit ya, Vaa. See you!" Sisca dan Khal meninggalkan ruangan.
Tersisa Vanny sendiri menahan sakit di hatinya. Merindukan orang yang sudah sangat jelas menyakitinya.
"Vanny!"
Seorang lelaki masuk dengan antusias. Wajahnya terlihat sangat berseri.
James. Dia berasal dari Korsel namun besar di Jawa. Itu sebabnya wajahnya Korea tapi gaya bicaranya Jawa. Dia teman Vanny di kampus.
Vanny hanya meliriknya sekilas. Tanpa berniat memandang laki-laki bodoh itu.
"Van? Gimana keadaan lo?" tanya James begitu duduk di kasur Vanny.
"Lumayan."
"Terapy-nya sakit nggak?"
"Nggak."
"Lo masih pusing, ya?"
"Iya."
"Lo lemes?"
"Iya."
"Lo mau jadi istri gue?"
Vanny melotot. "Nggak!"
James menghela napas pasrah. "Ya udah, gue jadi temen lo aja. Lo mah masih gamon terus."
"James!" Vanny memperingatkan.
"Iyaa iyaa maaf," James memegang pergelangan kaki Vanny.
"Aww!" Vanny spontan memekik.
"Kaki lo masih sakit?" James bertanya dengan raut khawatir.
Flashback on...
Dua hari yang lalu, Vanny berjalan sendiri di koridor menuju parkiran kampusnya.
Kemudian, dengan tiba-tiba seseorang menabraknya dan menjatuhkan beberapa pisau kecil yang digunakan untuk sesuatu yang dibawa orang itu terjatuh dan mengenai kaki Vanny.
"Astaga?" orang itu panik bukan main saat melihat kaki Vanny mengeluarkan banyak darah.
Kau tahu? Pisau itu digunakan untuk sebuah tugas di jurusan koki. Untuk memasak dan sebagainya.
"Can i help you?" Fie menghampiri dengan wajah panik.
Vanny tak bisa memikirkan apa-apa selain rasa sakit dikakinya. Pisau itu tajam dan menggores pergelangan kaki Vanny dengan mulus.
"Vanny? Gue bantuin lo ya?" Fie dan gadis tadi membantu Vanny ke mobil Fie yang kemudian Fie antar ke rumah sakit terdekat.
Flashback end...
"Masih nyut-nyutan," jawab Vanny.
"Lo nggak marah sama cewek itu?"
"Cewek yang mana?"
"Yang jatuhin pisau itu..,"
"Nggak. Ngapain juga gue marah. Nggak guna!"
James menghela napas berat. "Lo tuh terlalu baik."
🌹🌹🌹
Pukul 10:15 Waktu Singapore..
"Gue didepan Fakultas Bisnis nih, gue harus apa?" tanya Steve ditelepon.
"Lo liat ada Cafe kan, di dekat sana?" tanya Quinza di telepon.
"Iya. Kenapa?"
"Gue udah minta doi ke sana. Kayaknya dia udah di sana. Lo samperin aja."
"Oke."
🌹🌹🌹
"Perasaan gue baru masuk kuliah, kenapa udah dapet tugas, coba?"
Sejak 5 menit yang lalu, Vanny terus mengumpat. Dosennya keterlaluan, masa baru masuk sudah diberi tugas.
Vanny melirik jam tangannya yang melingkar indah dipergelangan tangan kirinya.
"Qui! Tuh anak nyebelin banget, sih!"
Tiba-tiba, seseorang duduk didepannya. Karena terhalang laptop, akhirnya Vanny sedikit mendongak untuk melihat siapa orang itu.
Matanya melebar begitu matanya terkunci dengan orang di depannya. Orang yang sangat ingin dipeluknya.
"Ven?"
"Vaa," Steve menatap Vanny intens. "Gue, minta maaf."
Dan seketika Vanny tersadar. "Maaf?" tanya Vanny dingin.
"Maafin gue, karena gue udah mutusin lo tanpa sebab yang jelas. Maaf...," perkataan Steve berhenti saat Vanny tiba-tiba memotongnya.
"Basi!" Vanny bergegas memasukan kembali laptopnya ke dalam tas dan pergi meninggalkan Steve.
Steve berlari mengejar Vanny. Ia mencekal tangan Vanny begitu mereka berada di depan Cafe.
Vanny berbalik dengan tatapan malas. "Lepasin!" ia menghentakan tangannya agar terlepas dari genggaman tangan Steve.
"Vaa... Aku tau kamu marah, tapi aku punya alasan untuk itu..,"
"Apa? Karena lo suka sama sahabat gue, kan? Gue nggak perduli."
"Bukan itu, Vaa ... Kamu harus dengerin aku...," bujuk Steve.
"Dengerin apa lagi? Udah nggak ada lagi yang perlu di denger. Gue udah seneng dengan hidup gue sekarang. Mending lo pergi dari hidup gue!"
Vanny berbalik dan berjalan cepat menuju gerbang kampusnya.
"Aku nggak akan pernah menikah kalau bukan kamu pasangannya, Stevanny! Aku akan buktiin kalau aku pantas! Tunggu aku!" teriak Steve.
Vanny merasa matanya mulai berair. Pandangannya kabur. Sejujurnya, ia tak ingin melakukan ini. Ia ingin memeluk Steve dan berkata jika ia rindu. Namun, egonya lebih besar dari apapun.
"Aku akan tunggu kamu lamar aku, Ven," batin Vanny.
🌹🌹🌹
Tinggalkan jejak!
See you:3
KAMU SEDANG MEMBACA
S [Selesai]
Teen FictionDingin. Satu kata yang cocok mendeskripsikan dirinya. Hangat. Itu juga cocok. Bagaimana bisa? Dingin tapi hangat? Stevanny. Satu nama yang dapat menjelaskan itu. Menjadi dingin bukan keinginannya tetapi sebuah keharusan. Menjadi hangat memanglah k...