"Kenapa?" tanya Vanny.
Saat ini, Vanny dan Steve berada di rooptop perusahaan.
"Kamu makin cantik," puji Steve dengan senyuman mengembang menghiasi wajah tampannya.
Vanny merasa wajahnya mulai memanas. "Ada apa? Lo tau kalau gue nggak punya banyak waktu," jawab Vanny dingin.
Steve mendengkus sebal. "Iya, aku tau kamu udah jadi wanita yang hebat sekarang. Tapi, Vaa ...," Steve menggenggam tangan Vanny. "Aku kangen sama kamu."
"Aku juga," batin Vanny. Namun nyatanya, Vanny hanya diam.
"Vaa, aku ...,"
Drrrt... Drrrt..
Vanny melepaskan genggaman tangan Steve untuk menjawab panggilan yang masuk.
"Ya?"
"Maaf Nona, Wanita bernama Raya itu ...," sahut Siena terputus.
"Tadi saya sudah cepat. Dan nyatanya dia tak ada. Kamu mau membohongi saya?!" bentak Vanny.
Steve terkejut dengan perbedaan Vanny. Vanny-nya sudah menjelma menjadi wanita yang tegas dan keras.
"Maaf Nona, saya sudah ...,"
"Sudah. Saya ke sana. Buat perempuan itu menunggu." Vanny memasukan ponselnya kembali ke dalam saku blazer-nya.
Vanny berbalik menghadap Steve. "Maaf, gue udah ditunggu. Lain kali kita bisa ngobrol lagi." Vanny melenggang pergi meninggalkan Steve.
Steve terus memperhatikan Vanny dari belakang. Tubuhnya yang mungil, sudah berubah menjadi sangat ideal bagaikan model. Wajahnya yang polos, telah berubah menjadi lebih dewasa. Lalu Rambut nya yang indah sebahu, telah memanjang hingga kepunggungnya.
Kemudian, Crooptop yang biasa membalut tubuhnya, telah berganti menjadi blazer. Rok mini yang biasa ia kenakan, berubah menjadi rok span. Dan sneekers-nya berganti menjadi high heels.
Steve tersenyum melihat perubahan drastis pada dari Vanny-nya. Dari yang awalnya gadis manja, berubah menjadi wanita yang hebat dan tegas.
🌹🌹🌹
"Ada apa? Tumben."
Raya dan Vanny duduk di sofa ruangan kerja Vanny.
"Uhm, sebelum nya gue minta maaf soal yang waktu itu," ujar Raya.
"Itu udah masa lalu. Lupain aja." Vanny tersenyum. "Jadi, ada apa? Satu jam lagi gue harus pergi nemuin Khal."
"Uhm, gue, bisa kerja di sini, nggak?" tanya Raya ragu-ragu.
"Kerja? Di sini?" Raya mengangguk. "Bukannya lo udah kerja di salah satu perusahaan, ya?"
"Iyaa, tapi gue di pecat gara-gara ada pegawai yang fitnah gue. Katanya, gue coba ngehancurin perusahaan dengan ngambil uang perusahaan," jelas Raya. "Jadi, bisa nggak? Kalau nggak juga nggak apa."
"Uhm, sebentar, gue tanyain dulu." Vanny meraih ponselnya dan menelpon seseorang. "Sie, coba kamu cek, ada kekurangan pegawai nggak?"
"Baik Nona, saya cek sebentar." Sie mengecek hal yang diminta bosnya itu. "Ada Nona. Tapi sebagai Office Girl."
"Nggak ada yang lain?"
"Sejauh ini nggak ada, Nona. Memangnya kenapa?"
"Nggak. Yaudah, makasih, Sie."
Vanny menaruh kembali ponselnya kedalam saku blazer-nya. "Ray, sebenarnya ada pekerjaan, tapi gajinya dan kekuasaannya nggak tinggi."
"Nggak papa. Jadi OG juga gue mau. Yang penting adek gue bisa masuk SMP."
"Serius?" Raya mengangguk. "Ada sih, kalau lo mau ya terserah. Lo bisa mulai kerja besok."
"Makasih!" Raya memeluk Vanny sangat erat.
"Yaudah, gue tinggal nggak apa, kan?" Raya mengangguk. "Mau gue sekalian anter pulang?"
"Nggak usah. Gue sendiri aja. See you bos."
Vanny hanya tersenyum manis. Tak lama setelah Raya keluar, Siena masuk ke dalam dengan beberapa file.
"Sie, habis ini nggak ada rapat lagi, kan? Untuk hari ini?"
"Ada Nona. Masih ada satu."
"Tolong kamu batalin rapat itu. Tunda aja sampe besok. Saya harus ke rumah sakit."
Siena mengangguk. "Nona, ini laporan-laporan keuangan dan kinerja karyawan." Siena menyerahkan file-file itu.
Vanny menerimanya. "Tunggu. Ini apa?" Vanny menunjuk sebuah amplop.
Siena tersenyum. "Minggu depan saya menikah. Nona bisa datang, kan?"
"Minggu depan?" Vanny membelalakkan matanya. "Kenapa kamu nggak ambil cuti?"
"Saya takut Nona marah."
"Justru saya bakalan marah kalau kamu begini!" bentak Vanny.
"Maaf Nona, tapi Nona bisa datang kan?"
"Saya usahakan."
"Makasih, Nona!" Siena spontan memeluk Vanny. "Eh, maaf, Nona." Siena melepaskan pelukannya.
Vanny tersenyum. Ia berdiri dan langsung memeluk Siena. "Kamu itu udah jadi temen saya selama ini. So, apapun yang kamu mau sebagai kado pernikahan, saya berikan."
"Nona yakin?" Vanny mengangguk. Siena tersenyum. "Saya ingin melihat Nona memakai gaun pengantin."
Degg. Vanny tak menyangka jika ini yang akan diminta oleh sekretarisnya itu.
"Kamu sering lho, liat saya pake baju pengantin." Vanny tersenyum.
"Iya, tapi bukan sebagai model pemotretan, Nona. Melainkan sebagai pengantin perempuan."
"Kamu ini!" Vanny kembali duduk di kursinya.
"Maaf Nona, tapi sebagai seseorang yang dekat denganmu, saya ikut merasakan yang orang tua Nona rasakan."
"Maksud mu?"
"Bu Yana sering bercerita, jika dia ingin segera melihat putri kecilnya menikah."
Vanny tertegun. Ia tau itu. Yana dan Gabriel sangat menginginkannya segera menikah dan memiliki keturunan. Dan mereka pun sudah puluhan kali mengenalkannya pada pria yang langsung Vanny tolak detik itu juga.
"Kau mau melakukannya?" Siena memastikan.
Vanny menghela napas berat. "Saya pikirkan." ia lalu meraih tasnya dan pergi meninggalkan ruangan.
🌹🌹🌹
"Khalifa! Kamu kok nggak ngabarin aku dulu!?"
Vanny berada di depan ruangan Khal disalah satu rumah sakit. Dan Khal tiba-tiba mengatakan jika dia harus melakukan operasi sekarang juga.
"Maaf, tapi aku bener-bener lupa ngabarin kamu." ujar Khal merasa bersalah. "Kamu ...,"
"Mama!!"
🌹🌹🌹
Pendek sekali, huhuu.
Tinggalkan jejak!!!
See you!
KAMU SEDANG MEMBACA
S [Selesai]
Fiksi RemajaDingin. Satu kata yang cocok mendeskripsikan dirinya. Hangat. Itu juga cocok. Bagaimana bisa? Dingin tapi hangat? Stevanny. Satu nama yang dapat menjelaskan itu. Menjadi dingin bukan keinginannya tetapi sebuah keharusan. Menjadi hangat memanglah k...