🌜63. Kandas?🌛

31.6K 2.7K 1.6K
                                    

Luka hati, datang seperti badai, pergi seperti sehelai rambut

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Luka hati, datang seperti badai, pergi seperti sehelai rambut.

-Algifary-

¶¶¶

Tanpa kebohongan, jujur takkan dihargai. Tanpa kegelapan, cahaya takkan dianggap. Tanpa masalah, manusia takkan mengerti arti dari belajar untuk menjadi dewasa.

Waktu adalah penyembuh terbaik dari luka dan rasa sakit. Sedalam apapun goresan yang ia tinggalkan, waktu selalu menjadi pemenang dari segala permasalahan.

Dan kamu adalah pemenang jika mampu bersabar.

Terhitung lima hari sudah Disya tidak ada kabar. Hilang bak ditelan bumi. Algi kebingungan, tak ada yang bisa ia tanyai. Algi seperti kehilangan arah tanpa penunjuk jalan.

Pekerjaannya sedikit berantakan karena masalah ini. Cincin yang ia dapatkan dari sang Mama pun menganggur di tangan. Kemanapun Algi pergi, selalu ia bawa kotak beludru merah itu.

"Sya, demi Tuhan aku bingung. Kamu kemana?" gumamnya melihat potret gadisnya di layar ponsel.

"Ini baru lima hari, dan aku nyerah kalo harus lebih lama tanpa kamu." bukankah perasaan Algi sudah tak perlu diragukan lagi?

Hatinya sedih bercampur sakit dengan keadaan ini. Seperti tak dianggap oleh Disya. Sesibuk apa, dan karena urusan apa sampai Algi terlupakan. "Stay positif thinking, Al."

Kenyataannya, Algi kalah telak oleh pikiran kusutnya. Semua bayangan buruk berlomba menggerogoti hati juga otaknya. "Bajingan!"

Sekali lagi cowok jangkung itu berusaha menghubungi gadisnya.

"Nomor yang anda tuju sedang—"

"Brengsek!"

¶¶¶

Di depan dokter Irfan Disya terlihat lebih tegar. Mendengarkan setiap anjuran beristirahat dan sebagainya. Sebab dari lima hari yang lalu, Disya mulai hidup hanya dengan satu ginjal.

"Jadi, gimana kondisi Mama sekarang, dok?" tanya Disya sesekali meringis memegangi bagian pinggangnya.

Dokter Irfan tersenyum. "Perubahannya terlihat begitu besar. Kamu adalah malaikat untuk Mama-mu."

Senyum Disya tak kalah lebar. "Dok, boleh saya liat kondisi Mama? Tapi dari jauh aja."

Anggukan kecil sang dokter cukup bagi Disya merasakan kebahagiaan. Tak butuh banyak waktu baginya untuk diarahkan menuju ruangan Marie.

"Sampai sini aja, dok." pinta Disya menghentikan jalannya kursi roda yang didorong oleh salah satu suster.

"Baiklah. Saya mau mengecek kondisi pasien dulu. Habis ini, kamu istirahat ya." dokter Irfan berlalu.

Warm In The Arms ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang