Capek-capek move on dari mantan
Eh, ujung-ujungnya nikah.
____________________
"Pak Saka?" cicit Ana dengan suara tertahan. Dunia seolah runtuh di atas kepala Ana."Anu, Pak. Begini--" Ana gagal merangkai kalimat yang tepat untuk menjawab pertanyaan sejak kapan lo menjadi sekurang ajar ini? yang Saka lontarkan untuknya. Kalau begini Ana mau ditenggelamkan saja di lautan oleh ibu menteri, ibu Susi.
"Permisi, Pak," hanya itu yang mampu Ana ucapkan sambil mengambil langkah mundur. Kemudian dia setengah berlari meninggalkan ruangan Saka, menutup pintu dengan perlahan dan hati-hati.
Dengup jantung Ana berdetak hebat, seakan-akan Ana baru menyelesaikan lari marathon dua putaran stadion. Ana membersihkan peluh yang muncul di keningnya. Sial, Ana tidak punya muka lagi untuk berhadapan langsung dengan Saka.
"Habislah gue. Hancur masa depan gue yang cerah dan terang benerang," Ana dengan susah payah melangkah menuju kursi kerjanya, lalu menghempaskan tubuh di sana.
Ana tenggelamkan wajahnya di atas meja di antara lipatan tangannya. Sesakali ia menggerutu, menyalahkan diri karena masuk ke dalam ruangan Saka.
"Sekretaris Diana," suara Saka terdengar.
Ana dengan tanggap menggangkat kepala dan memasang wajah tegang. "Iya, Pak?"
Saka berdiri di depan ruangan kerja, plaster demam yang Ana tempelkan tadi masih ada di kening laki-laki itu. Setengah mampus Ana menahan tawa, jangan sampai Saka benar-benar menendang dirinya karena tertawa melihat betapa imut plaster tersebut untuk laki-laki semacho Saka.
"Ikut saya!" Saka kembali masuk ke dalam ruangan.
Seketika Ana panik, guyonan tentang plaster mendadak tidak menarik lagi.
Mampus! Gue kayaknya bakal digantung hidup-hidup, batin Ana sedih. Kaki Ana bergerak memasuki ruangan Saka. Hanya keselamatan yang Ana harapkan saat ini. Jika dia memang akan mati di sini, tolong sampaikan pada keluarga Ana di kampung bahwa dia sangat mencintai mereka dengan segenap jiwa dan raga.
Ana berdiri kaku dekat meja kerja Saka, sementara Saka sendiri kembali berbaring di sofa panjang. Mata Ana bergerak-gerak bingung melihat Saka yang kembali memejamkan mata.
"Duduk!" pintah Saka.
Ana menggaruk tengkuknya bingung, dengan langkah perlahan Ana bergerak. Berusaha meminimalisir bunyi heels lima senti yang dia kenakan. Perlahan-lahan Ana mendaratkan bokong pada sofa single yang berada di bagian kiri sofa panjang tempat Saka berbaring.
"Tetap di sana sampai saya minta Anda untuk pergi!"
"Ba-baik, Pak."
Tubuh Ana terasa tegang dan duduk dengan punggung lurus. Padangan Ana lurus ke depan. Ana menarik napas sangat pelan, takut kalau-kalau Saka mendengar suara tarikan napasnya dan merasa terusik. Canggung sudah pasti, bahkan jantung Ana berdetak tidak karuan.
Dua jam Ana bertahan pada posisi itu, diam tanpa kata. Hanya berani melirik sesekali pada Saka yang tidur lelap. Sebenarnya apa yang sedang Ana lakukan di sini? Duduk seperti orang bodoh dan menunggui Saka bangun?
"Apa tujuan lo minta gue duduk di sini untuk menemani lo tidur?" Ana mengalihkan indra lihatnya pada wajah Saka.
Ana memiringkan kepala beberapa derajat. Ia telurusi wajah lelap Saka dengan matanya. Mulai dari alis Saka yang tebal, mata tajam milik Saka yang saat ini tertutup rapat, hidung Saka yang lancip, bibir yang indah dan semua itu dibingkai dalam satu wajah yang selalu berekspresi dingin.
"Gue kangen lihat senyuman lo." Mata Ana berhenti pada bibir Saka. Bibir yang selalu membentuk garis lurus dan memproduksi kata-kata pahit.
Saka bergerak dalam tidurnya, helaan napas panjang terdengar dengan teratur. Posisi kepala Saka menghadap pada Ana, membuat Ana semakin puas memandangi wajah tampan itu. Perasaan Ana campur aduk, bergejolak dengan rasa yang sulit dijelaskan. Mendadak Ana teringat hal-hal yang pernah mereka lalui bersama.
"Gue yang salah." Ana menunduk, menyudahi ingatannya tentang kisah masa kuliah mereka. Terlebih lagi ketika memori Ana mengingat saat Saka memergokinya jalan dengan seseorang yang tidak seharusnya.
Kalau dulu Ana tidak melakukan kesalahan fatal, akan seperti apa hubungan mereka saat ini? Mungkinkah mereka telah menikah? Atau, justru putus karena bosan terlalu lama bersama? Apapun itu Ana senang memikirnya, memikirkan tentang Saka.
Gue udah move on! Buru-buru Ana mengalihkan pandangan pada jendela kaca besar. Mengeyahkan pikiran aneh tentang Saka dan kisah mereka. Cukup! Ana jangan sampai jatuh terlalu dalam dan lupa cara untuk kembali ke kepermukaan.
"Sedang apa kamu di sini?!"
Suara pintu terbuka mengagetkan Ana, diiringi suara sinis yang membuat Ana membeku. Ana terkesiap dan bangun dari duduknya.
"Tante Leni." Ana terkejut melihat kehadiran ibu Saka.
"Apa yang kamu lakukan di ruangan Saka dengan keadaan Saka yang tertidur?!" tanya ibu Saka sekali lagi.
Ana memandang serba salah. Dia bingung sendiri harus menjawab apa.
"Ma," Saka ikut terbangun karena mendengar keributan yang diciptakan Ana dan sang ibu. Laki-laki itu mengumpulkan nyawanya yang masih berserakan.
"Perempuan ini benar-benar kurang ajar, Saka! Dia masuk ke ruangan kamu saat kamu sedang tidur," sentak ibu Saka menggebu.
Saka bangun dari posisi berbaring, ia menghela napas sambil memijit kepalanya yang terasa sangat pening. Tenggorokan Saka juga terasa gatal. Tidur dua jam sama sekali tidak membantu.
"Saka yang minta Ana untuk berada di sini," Saka tatap ibunya dengan sayu.
"Tapi kenapa?" Ekspresi ibu Saka semakin mengeras.
"Anda boleh keluar!" pintah Saka tanpa menatap Ana.
"Permisi, Pak." Kaki Ana bergerak cepat menuju pintu masuk, melewati ibu Saka yang menunjukkan wajah tidak suka secara terang-terangan.
"Apa maksud perkataan kamu tadi?"
"Ma, Saka cuma minta Ana untuk duduk di kursi itu! Tidak lebih. Lagi pula apa yang bisa diharapkan dari perempuan seperti dia?"
Perempuan seperti dia? Memangnya gue seperti apa? batin Ana sebelum menutup pintu ruangan Saka.
Perasaan Ana tidak menentu dalam gemelut rasa yang sulit untuk dijelaskan. Kata-kata terakhir yang Ana dengar dari Saka cukup menyinggung hatinya.
Memangnya Ana perempuan seperti apa? Penyataan itu seolah meremehkan Ana.
Iya, Ana memang melakukan kesalahan di masa lalu. Dia berkhianat pada Saka dan melukai perasaan laki-laki itu betapa hebatnya. Tapi, seharusnya Saka juga tidak melupakan hal bahwa dulu Ana juga mencintai dengan setulus hati.
Tbc
Spam next di sini 👉
Yuuhuuuuu double up soalnya aku lagi senang hihihi, jangan tanya karena apa yg pasti bukan pacar baru 😂 aku suka banget bagian akhir dari part ini. Sederhana tp menampar hati Ana huahahaha
Btw, memangnya dulu Ana perempuan seperti apa?
Sekalian aku mau promosi cerita baru judulnya PUTUS!
👇
.
.Mengapa sulit sekali untuk memahami perempuan? Aku itu laki-laki, bukan cenayang yang paham segalanya tanpa diucapkan. -Adam-
Kalau aku ngambek itu dijajani seblak, bukan didiamkan. -Putri-
Cek kelanjutannya di lapak PUTUS! >>>
🛍 Awas ada typo 🛍
KAMU SEDANG MEMBACA
Mantan tapi Menikah
Teen FictionHarga diri Ana jatuh pada titik terendah. Ana harus menerima kenyataan bahwa kantor baru tempatnya bekerja dipimpin oleh sang mantan. Jika hanya sekedar mantan tidak masalah, namun dia adalah sosok mantan yang pernah Ana khianati dulu. Dia adalah Sa...