Chapter 17 | Sorry...

73.7K 5.9K 206
                                    

Jangan jadi orang yang sulit memaafkan, karena hidup itu siklus. Kita sulit memaafkan kesalahan orang lain, orang lain pun akan susah memaafkan kesalahan kita.

☁ ☁ ☁

Semalam, Calvin mengajak Cessa untuk menonton di bioskop siang ini dan Cessa tentu saja menyetujuinya. Dan sekarang gadis itu tengah menatap pantulan dirinya di depan cermin. Dengan senyum yang mengembang, ia merapikan tatanan rambutnya yang ia biarkan tergerai indah. Cessa meraih ponselnya yang tergeletak di atas tempat tidur, lalu mulai mengetikkan pesan untuk Calvin. Setelah itu, ia memasukkan benda pipih itu ke sling bag, lalu menuruni anak tangga satu per satu.

Berhubung Stella dan mbok Lastri sedang tidak ada di rumah, Cessa langsung pergi ke tempat tujuan, terlebih taksi yang ia pesan sudah menunggu di depan. Tak membutuhkan waktu lama, taksi yang Cessa tumpangi berhenti di depan mall Ibu Kota.

"Makasih, Pak," ujar Cessa setelah membayar ongkosnya. Kemudian, gadis itu mulai memasuki mall, lalu menuju lantai teratas. Setelah membeli tiket untuk menonton, Cessa menyempatkan diri untuk mengisi perut sebab jadwal tayang film yang akan ia tonton masih setengah jam lagi.

Cessa menghabiskan makannnya dalam waktu kurang lebih 10 menit. Namun, walaupun makannya sudah habis, ia tak kunjung beranjak dari tempat itu. Lagi, ia melirik jam yang melingkar di pergelangan tangan, tersisa 20 menit lagi sebelum film dimulai. Namun, Calvin belum juga menampakkan hidungnya.

"Kok lama, ya?" gumamnya sembari melirik roomchat-nya dengan Calvin, "Jangan-jangan dia kejebak macet."

Baiklah, kesabaran Cessa masih tersisa banyak. Ia akan menunggu sampai laki-laki itu menampakkan diri di hadapannya. Namun, ketika orang-orang di sampingnya mulai berangsur pergi, Calvin belum juga datang.

Cessa menghela napas lelah, ia fokuskan tatapannya pada jam di pergelangan tangan. Lima menit lagi, film yang ingin ia tonton akan segera dimulai. Lalu, ia alihkan tatapannya pada chat terakhir yang ia kirimkan untuk Calvin. Centang itu masih abu, tak kunjung membiru. Beberapa panggilan suara maupun video tak kunjung terjawab. Dalam sekejap, laki-laki itu seolah menghilang bak ditelan bumi.

Kak Calvin

[jadi, nggak, Kak? Aku udah nungguin, lho]

[ini udah hampir setengah jam, tapi kamu
gak datang-datang]

[kalo ga bisa, gapapa, kok]

[kamu kejebak macet?]

[oke, gapapa. Aku pulang, ya]

Cessa menghela napas pelan. Matanya menyorot dua buah tiket yang beberapa menit lalu ia pesan. Harapan telah melambungkannya, lalu menjatuhkannya pada titik terendah. Cessa melirik jam yang melingkar di pergelangan tangan, lima detik lagi film itu akan dimulai.

Sekali lagi, Cessa menghela napas pelan. Lalu, dengan berat hati ia membuang dua buah tiket itu ke kotak sampah yang berada tak jauh darinya. Setelah itu, Cessa beranjak, lalu membayar makanannya.

☁ ☁ ☁

"Halo." Suara lembut langsung terdengar di telinga Calvin saat sambungan telepon itu diterima.

"Tumben nelpon duluan. Ada apa?" tanyanya.

Terdengar hela napas panjang di ujung telepon. "Kakak beneran enggak ingat apa-apa? Belum baca chat dari aku?"

CALVINO [✔️]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang