Sakit yang terasa sangat membekas adalah kehilangan orang yang kita sayangi untuk selama-lamanya.
☁ ☁ ☁
Stella langsung dimakamkan pada sore hari karena tidak ada lagi keluarga jauh yang ditunggu. Kini, suasana makam Stella masih dipenuhi orang-orang dengan pakaian serba hitam. Cessa sendiri masih terduduk di samping nisan Stella. Ia mengusap nisan itu pelan seakan tengah mengusap kepala Stella. Hari-hari yang akan ia lalui ke depan, pasti akan terasa berat. Kondisinya sekarang terlihat lebih kacau dari hari kemarin. Mata bengkak dan lingkaran hitam di sekitar mata terlihat jelas.
Menit demi menit berlalu, begitupun dengan orang-orang yang mulai meninggalkan makam Stella, tak lupa memberi semangat pada Cessa.
"Ca, kamu yang sabar ya," Gheisya berjongkok di samping Cessa, lalu mengusap bahu gadis itu pelan, "Lo masih punya gue sama Chelsea," imbuhnya.
Chelsea ikut berjongkok di samping Cessa. Sehingga kini posisi mereka, Cessa yang berada di tengah-tengah. Chelsea ikut mengusap bahu Cessa. "Gue tau lo pasti kuat. Tetap semangat, ya."
"Hm, Thanks. Kalian pulang aja, aku nggak apa-apa kok," Setelah beberapa jam tidak mengeluarkan suara, akhirnya Cessa berbicara. Ia menatap Gheisya dan Chelsea bergantian, "Aku lagi pengen sendiri. Aku harap kalian ngerti," ucapnya.
Terkadang, seseorang membutuhkan kesendirian untuk melampiaskan kesedihannya.
Gheisya mengangguk, begitupun dengan Chelsea. Lalu, kedua gadis itu kompak berdiri. "Kita pulang, ya," pamit Chelsea dan Gheisya yang dibalas anggukan oleh Cessa.
"Lo pasti kuat," ucap Fabian.
"Yang sabar, Ca." Kino yang daritadi diam, kini mengeluarkan suara.
"Semua orang pasti ngalamin yang kayak gini, kita tinggal nunggu waktu aja. Lo pasti kuat," ucap Zevan.
Setelahnya, kelima remaja itu pergi meninggalkan Cessa, membuat gadis itu kembali menunduk. Namun, punggungnya menegak saat merasakan sebuah tangan yang melingkar di pundaknya. Ia menoleh dan mendapati Jesika yang tersenyum hangat. "Kamu yang kuat, ya, Sayang," ujarnya sembari mengusap-usap bahu Cessa.
Mendapat senyuman setulus itu, membuat Cessa kembali menunduk.
"Kalo kamu butuh temen curhat, kamu bisa main ke rumah Papa kamu," ujar Jesika sembari menatap Fras yang tengah berdiri.
"Kamu nggak usah segan-segan buat main ke rumah Papa kamu, karena itu juga rumah kamu," Jesika tersenyum, tapi tak bertahan lama sebab senyuman itu berganti dengan raut sedih, "Tante minta maaf kalo ada salah sama kamu dan mama kamu," imbuhnya.
Jesika berdiri, lalu memberi kode pada Fras agar berbicara. "Jesika benar, kalo kamu butuh apa-apa jangan segan untuk datang ke rumah," ucap Fras sedikit kaku.
Cessa mengangguk tanpa melihat sang Papa. "Iya, Pa."
"Kamu gadis papa yang kuat," ucap Fras sembari tersenyum haru. Ia melirik Jesika sekilas, lalu kembali menatap Cessa yang masih setia menunduk, "Ayo pulang."
Cessa menggeleng pelan. "Papa duluan aja, aku masih mau di sini."
Fras menghela napas gusar. Ia melirik Jesika, lalu kembali menatap Cessa. "Ya, udah. Papa sama Jesika pulang dulu, ya. Kalo ada apa-apa, jangan lupa kabarin papa," ujarnya sembari mendaratkan telapak tangan di puncak kepala Cessa, lalu memberikan sapuan halus di sana.
KAMU SEDANG MEMBACA
CALVINO [✔️]
Teen Fiction[FOLLOW SEBELUM MEMBACA] Awalnya Cessa tak terlalu mengenal Calvin, laki-laki yang menjabat sebagai kapten basket di sekolahnya. Namun akibat insiden di belakang sekolah, hidupnya berubah, pun dengan pandangannya terhadap laki-laki itu. Karena ada...