Aku tak mengerti jalan pikiranmu, ingin dilepaskan, tapi saat aku melepaskan dirimu, saat itu juga kau semakin gencar mengejarku.
☁ ☁ ☁
Angin malam menerpa wajah mulus Cessa. Gadis itu duduk menyendiri di balkon kamar yang berada di lantai dua, menatap langit hitam pekat yang membentang di atas sana.
Cessa tersenyum, tidak menyangka Stella akan pergi secepat ini. Ia menghela napas berat, lalu melirik jam yang melingkar di pergelangan tangan. Ah ... ia sudah menghabiskan waktu kurang lebih 2 jam di sini. Tak ingin membuang waktu lebih lama lagi, ia beranjak lantas menutup pintu kamarnya yang terhubung ke balkon.
Dengan langkah pelan, ia menuruni anak tangga satu per satu menuju lantai bawah. Namun saat berada di undakan anak tangga terakhir, ia berhenti lantas pandanganya terfokus ke pintu kamar orang tuanya yang sedikit terbuka.
Niatnya ia ingin mengunci pintu itu. Namun, urung saat matanya tak sengaja menangkap kertas putih yang terletak begitu saja di atas nakas.
Ia masuk ke kamar orang tuanya, lalu meraih kertas yang dilipat rapi itu. Cessa menarik kursi rias Stella, kemudian membuka lipatan kertas itu dengan hati-hati. Senyum tipisnya terpatri saat membaca nama Stella yang terpampang di atas surat. Namun ketika membaca isi dari surat itu, senyumnya mendadak sirna. Napasnya tercekat dengan satu tangan yang mulai meremas ujung pakaian yang ia kenakan. Tak lama, sebulir air bening jatuh membasahi kertas itu.
Cessa kembali melipat kertas itu lantas menyimpannya ke dalam saku celana. Ia menatap pantulan dirinya di depan cermin. Kemudian tangan kanannya terangkat dan mulai mengusap pantulan dirinya di fcermin. Ia terisak pelan. Sakit itu belum hilang, tapi mengapa kenyataan ini kembali menyakitinya.
Cessa menggeleng pelan. Siapa yang harus ia salahkan di sini? Dirinya, orang tuanya, atau ... mereka? Ia mengusap air matanya kasar, lalu beranjak dari sana.
Saat tiba di ambang pintu, Cessa dikejutkan dengan kehadiran Mbok Lastri yang tiba-tiba.
Cessa menghela napas pelan. "Mbok, ngagetin aja."
"Tadi, udah mbok panggil-panggil, tapi Non nggak nyaut. Ngelamunin apa, toh?" tanya wanita itu yang dibalas gelengan kuat oleh Cessa.
"Ng–nggak kok, Mbok. Nggak ada."
Mbok Lastri mengangguk singkat. "Ya sudah, mbok mau bersihin kamar nyonya Stella dulu."
Cessa tersenyum tipis, bersyukur dalam hati karena Mbok Lastri tidak menanyakan hal yang lain. "Iya, Mbok. Kalo gitu Eca ke dapur, ya," pamitnya yang langsung diangguki oleh mbok Lastri.
"Berat banget cobaanmu, Nak." Mbok Lastri menatap sendu punggung Cessa yang semakin menjauh.
☁ ☁ ☁
Sudah satu minggu sejak kepergian Stella dan kini Cessa sudah kembali melakukan aktivitasnya seperti biasa, mulai dari sekolah, bercanda bersama kedua sahabatnya dan hal-hal yang dulu yang sering ia lakukan. Semuanya tetap sama, hanya saja sikapnya terhadap Calvin yang berubah. Sejak satu minggu pula, ia selalu menghindari kontak dengan Calvin, baik mata maupun fisik.
"Udah kali, Bos, mandanginnya," ujar Kino lantas memasukkan sisa gorengan yang terakhir. Dan ucapan Kino barusan memicu Fabian untuk ikut-ikutan.
KAMU SEDANG MEMBACA
CALVINO [✔️]
Teen Fiction[FOLLOW SEBELUM MEMBACA] Awalnya Cessa tak terlalu mengenal Calvin, laki-laki yang menjabat sebagai kapten basket di sekolahnya. Namun akibat insiden di belakang sekolah, hidupnya berubah, pun dengan pandangannya terhadap laki-laki itu. Karena ada...