Saling menyayangi, tapi juga saling menyakiti.
☁ ☁ ☁
Raka menghela napas pelan, sebelum akhirnya mengunci tatapan lawan bicaranya. "Kalo sekarang gue bilang suka sama lo, gimana?"
Cessa membeku sejenak. Ia mengamati wajah Raka lamat-lamat, tidak yakin jika kalinat itu akan meluncur begitu saja dari bibir laki-laki itu. Mereka baru beberapa kali bertemu, dan sekarang laki-laki itu mengaku menyukainya.
Baru saja hendak mengeluarkan suara, mulutnya kembali terkatup rapat saat mendengar suara tawa Raka. Cessa menatap laki-laki itu bingung dengan kening berkerut dalam.
"Gue becanda kali. Lo nanggepinnya serius amat," ujar Raka, kini memegangi perutnya yang tiba-tiba terasa sakit.
Cessa memberengut kesal, kedua tangannya ia lipat di bawah dada sembari terus memperhatikan Raka yang masih tertawa.
"Iya-iya, gue berenti, tapi mukanya biasa aja tolong." Lagi, Raka mengumbar tawa.
"Nggak lucu!" seru Cessa. Ia kemudian mengalihkan pandangannya ke arah lain dengan posisi tangan yang masih terlipat di bawah dada.
Raka berdehem pelan, berusaha meredam tawanya. "Iya, yang lucu cuma lo doang."
Cessa mendengkus. "Balik lagi, deh," ujarnya sembari merotasikan bola mata.
"Lagian mana mungkin gue suka sama cewek orang. Harga diri dong."
"Makanya becandanya jangan kayak gitu. Sama sekali nggak lucu."
"Terus yang kayak gimana biar lucu, hm?" tanya Raka sembari menaik-turunkan alis.
"Ya ... bebas. Pokoknya jangan yang kayak gitu!"
Raka mengangguk-angguk pelan. "Ya udah, gue ajak ke KUA aja."
"Eh, ngapain?!" Cessa berseru panik.
"Nikahin lo lah! Ngapain lagi?"
"Itu tambah nggak lucu!"
Detik setelahnya adalah bantal sofa yang mengenai wajah Raka. Laki-laki itu mengusap wajahnya, lalu tawanya mengudara ketika melihat raut kesal Cessa.
Dan tawa itu seakan mematikan sel saraf otak Cessa. Ia termangu, menatap lurus sosok yang duduk di seberangnya. Kemudian tanpa aba-aba, sudut bibirnya ikut tertarik. Cessa tersenyum ... apalagi saat menyadari bahwa senyum di bibir Raka dialah penyebabnya.
☁ ☁ ☁
Saat guru selesai menjelaskan, lalu mata mereka beralih menatap satu per satu murid yang ada di kelasnya, percayalah, itu bukan pertanda yang baik. Mereka akan memilih calon yang akan menggantikan peran untuk menjelaskan atau bahkan mengerjakan soal di papan tulis.
Oleh sebab itu, saat pak Budi---guru fisika yang bertubuh agak gempal, tidak lupa kaca mata bulat yang selalu bertengger di hidung---menatap anak muridnya satu per satu, seisi kelas mulai mengeluarkan tindakan mereka. Ada yang pura-pura membaca buku, menunduk, serta menghindari bertemu pandang dengan pak Budi.
Berbeda dengan murid-murid lain, Kino lebih memilih melafalkan ayat-ayat pendek dalam hatinya dengan kedua mata yang dibiarkan terpejam. Pak Budi menaikkan kaca mata yang melorot dari hidungnya, netranya meneliti Kino sejenak, sebelum akhirnya berdehem pelan.
"Kino, coba ulangi materi yang saya jelaskan tadi!"
Mata Kino yang awalnya terpejam spontan terbuka lebar bersamaan dengan embusan napas lega dari seisi kelas. "Kok saya, Pak?" tanyanya sembari menunjuk dirinya sendiri.
![](https://img.wattpad.com/cover/217019923-288-k953146.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
CALVINO [✔️]
Novela Juvenil[FOLLOW SEBELUM MEMBACA] Awalnya Cessa tak terlalu mengenal Calvin, laki-laki yang menjabat sebagai kapten basket di sekolahnya. Namun akibat insiden di belakang sekolah, hidupnya berubah, pun dengan pandangannya terhadap laki-laki itu. Karena ada...