Teruntuk kamu yang masih menetap dalam keadaan mendesak, kamu hebat.
☁ ☁ ☁
Saat mobil berhenti di halaman rumah sakit, Calvin ke luar dari mobil dengan tergesa sembari menggendong Cessa dengan bridal style. Tak ia pedulikan lagi tatapan penasaran dari orang-orang yang dilaluinya. Tak jarang ia mengumpat dalam hati saat tubuhnya hampir saja menabrak orang yang lalu-lalang.
"Sus! Tolongin saya!" teriaknya saat melihat tiga perawat yang berjalan berlawanan arah dengannya sembari mendorong brankar.
Saat melihat laki-laki remaja yang terlihat kesusahan menggendong gadis yang tak sadarkan diri, ketiga perawat itu berjalan tergesa menghampiri Calvin. Kemudian, saat ketiga perawat itu sudah berada di dekatnya, langsung saja Calvin membaringkan tubuh Cessa ke atas brankar. Brankar pun didorong menuju ruang UGD dengan Calvin yang ikut berjalan tergesa di samping brankar. Tak membutuhkan waktu lama, mereka tiba di depan ruang UGD. Calvin berhenti di depan pintu, netranya memandang brankar Cessa yang didorong ke dalam ruang UGD oleh ketiga perawat tadi.
Calvin terduduk lemas di kursi tunggu rumah sakit. Kepalanya tertunduk dalam dan wajahnya ia tutup dengan kedua telapak tangan. Matanya memerah, menahan sedih sekaligus amarah. Calvin mengusap wajahnya kasar lantas tanpa sadar meninju tembok rumah sakit dengan kuat sehingga menimbulkan bercak merah dibuku-buku jarinya.
Kepala yang awalnya tertunduk, kini ia angkat saat merasakan tepukan di bahu kanannya. Saat mendongak, tatapannya langsung tertuju pada pria tadi.
"Maafkan saya.... Tapi tolong tahan emosi kamu. Tolong segera kabari orang tua gadis itu."
Calvin mengangguk lemah lantas mengeluarkan ponsel dari saku celana. Kemudian ia memberi kabar kepada orang tua Cessa melalui chat. Setelahnya ia kembali memasukkan ponsel ke saku celana. Laki-laki itu termenung dengan kedua tangan yang saling bertautan. Puluhan menit ia habiskan dalam diam.
"Vin, gimana keadaan Cessa? Dia baik-baik aja, 'kan?" Calvin mendongak saat mendengar suara wanita yang cukup ia kenal. Wanita itu berjalan tergesa lantas berdiri di depannya, "Vin, kenapa bisa kayak gini?"
Calvin menghela napas panjang. "Kita do'akan semoga Cessa baik-baik aja, Tan."
Dinda mengalihkan tatapan hingga netranya beradu pandang dengan pria asing yang berdiri di samping Calvin. "Dia siapa, Vin? Dia yang nabrak Cessa?"
"Dia nggak sengaja, Tan ...."
Dinda menghiraukan ucapan Calvin. Wanita itu maju lantas mengamuk di hadapan pria tadi, mengguncang tubuh pria itu sembari berteriak histeris. "Kamu apakan anak saya, hah?! Kamu mau bikin anak saya mati?!" tanyanya dengan air mata yang membanjiri pipi.
Bima yang baru tiba di dekat mereka, segera menarik sang istri ke pelukan. Dielusnya punggung Dinda yang naik-turun. "Ma, tenang. Jangan seperti ini, Cessa pasti baik-baik aja."
"Tapi, Pa, dia ... dia yang nabrak Cessa ...."
"Sst ...."
Pria tadi maju beberapa langkah hingga tubuhnya berhadapan langsung dengan Bima. Ia menunduk dalam. "Saya minta maaf. Saya akan bertanggung jawab, semua biaya pengobatan anak Anda biar saya yang bayar."
Bima mengangguk singkat. "Terima kasih dan maaf ... istri saya masih terlalu shock."
"Tidak apa, saya pantas menerimanya. Kalau istri saya yang berada di posisi ini, saya yakin dia akan melakukan hal yang sama."
Percakapan mereka terpaksa berhenti karena pintu ruangan dibuka dan menampilkan sosok pria dengan pakaian serba putih. Pria itu menatap orang-orang yang berada di sana satu per satu.
"Keluarga pasien?" tanyanya sembari membenarkan letak kaca mata yang sedikit melorot.
"Saya mamanya, Dok," balas Dinda sembari menjauhkan tubuhnya dari dekapan Bima, "Gimana kondisi anak saya, Dokter Vano?"
Dokter yang diketahui bernama Vano itu menghela napas panjang. Kemudian, ia kembali menatap orang yang berada di sana satu per satu. "Pasien kekurangan banyak darah. Namun darah yang dibutuhkan pasien, stoknya sedang habis di rumah sakit ini. Saya harap Bapak atau Ibu segera mencarikan calon pendonor sebelum terlambat."
Dokter Vano hendak berbalik, tapi urung saat Calvin bertanya dengan lantang. "Golongan darah pasien apa, Dok?"
"O-Negatif."
Calvin beranjak dari duduk lantas berjalan menghampiri Dokter Vano. "Saya siap, Dok."
"Vin, tap-7-"
"Nggak apa-apa, Tan," balas Calvin sembari tersenyum meyakinkan.
Dokter Vano mengangguk. "Mari ikut ke ruangan saya," ujarnya yang langsung diangguki Calvin. Kemudian, kedua laki-laki itu berbeda umur itu berlalu pergi.
☁ ☁ ☁
Ketika malam berganti pagi dan jam menunjukkan pukul tiga dini hari, Cessa masih belum sadarkan diri walau sudah pindahkan ke ruang inap bukan lagi di UGD. Kata Dokter Vano, tubuhnya masih lemah walaupun sudah mendapat donor darah.
Calvin menatap Cessa yang terbaring lemah di atas brankar. Napas gadis itu teratur, wajahnya damai seakan menikmati tidur panjangnya. Calvin mengusap surai hitam milik Cessa lantas tangannya berpindah menggenggam tangan gadis itu. "Cepat sembuh ....," bisiknya.
Calvin mendongak saat merasa bahu kanannya ditepuk seseorang. Bima membuka suara, "Pagi ini kamu pulang aja, Vin. Kasian tubuh kamu butuh istirahat."
"Saya mau jaga Cessa, Om."
Bima menghela napas panjang. "Pentingin kesehatan kamu dulu baru orang lain. Cessa ada Tante sama Mama kamu yang jagain," ujarnya sembari melirik Dinda dan Siska.
"Lagian kamu juga mau sekolah, Vin."
Calvin tersenyum paksa, sebelum akhirnya mengangguk lemah.
☁ ☁ ☁
Partnya sedikit, ya.
Komen sebanyak-banyaknya untuk next part!
TBC,
KAMU SEDANG MEMBACA
CALVINO [✔️]
Ficção Adolescente[FOLLOW SEBELUM MEMBACA] Awalnya Cessa tak terlalu mengenal Calvin, laki-laki yang menjabat sebagai kapten basket di sekolahnya. Namun akibat insiden di belakang sekolah, hidupnya berubah, pun dengan pandangannya terhadap laki-laki itu. Karena ada...