Chapter 3 | Hilang; Tiada Lagi

140K 10.1K 1K
                                    

Teruntuk hati yang pernah disakiti, jangan berhenti peduli.

☁ ☁ ☁

Terhitung sudah lebih dari sepuluh kali iris coklat itu melirik jam di pergelangan tangan. Lalu, diikuti embusan napas yang terdengar lelah. Kepalanya sesekali menoleh ke arah pintu kelas yang terbuka. Ada harap yang terselip di balik tatapan itu. Harapan lelah atas waktu yang bergulir lama. Sekali lagi, ia menghela napas lelah.

Guna mengusir rasa bosan, Cessa mengeluarkan ponsel dari saku seragam, menghidupkan data, lalu notifikasi chat langsung memenuhi layar ponselnya. Cessa memilih chat teratas, membukanya dan tersenyum kecil saat membaca barisan kata dalam layar itu.

ceceee

[skrng udah pulang blm?]

[blom]

[kok blom?! emang lo mau ngpain?]

[kepooo]

[hilih... ati-ati aja, katanya sekolah kita itu angker, bnyk hantunya. ga usah nangis, salah sendiri ga mau ditemenin]

[emng ga minta ditemenin wleee, ga takut jg, udah sering liat soalnya hihihiii]

[kok malah lo yg nyeremin, sih!]

Cessa terkekeh sembari memasukkan ponsel ke saku seragam, tanpa membalas chat Chelsea terlebih dahulu. Lalu, gadis itu bangkit, berjalan ke luar kelas, mulai menyusuri koridor ketika jam sudah menunjuk angka tiga.

Ketika kakinya berhasil menjejak di halaman sekolah, Cessa bernapas lega. Setidaknya untuk saat ini keberuntungan masih berpihak pada dirinya yang kadang kala dianggap lemah. Lalu, kaki jenjang itu kembali melanjutkan langkah menuju gerbang sekolah, meninggalkan jejak yang membekas hingga waktu yang sangat lama.

Deru motor dari jalan raya, menyamarkan suara langkahnya diantara hening suasana sekolah. Embusan angin menerbangkan helaian rambut hitamnya yang dibiarkan tergerai, ketika netranya membola saat iris cokelat itu menangkap sosok yang berada di depan gerbang. Lalu, tatapan mereka beradu.

Cessa cepat-cepat mengalihkan tatapan. Mendengkus, lalu melanjutkan langkah yang sempat tertunda. Menyeret langkah menuju halte bus yang berada di seberang sekolah.

Pura-pura nggak liat aja, batinnya. Padahal sia-sia, sebab orang yang sedang ia hindari telah menyadari keberadaannya.

Cessa mendaratkan bokong di bangku halte sembari melepaskan tas yang menggantung di punggung, lalu membawa tas itu ke pangkuannya. Ia menoleh hingga mendapati seorang wanita paruh baya tengah tersenyum padanya. Cessa mengangguk sekilas, membalas tersenyum.

Lalu, netranya menatap lurus pada jalan raya yang membawa kendaraan-kendaraan itu ke tempat yang diinginkan, terkadang bersama tawa, lalu pulang membawa duka. Hingga suara klakson memecah konsentrasi Cessa, membawanya kembali ke dunia nyata. Ia mengerjap, mengalihkan atensi pada sosok yang masih duduk di atas motor, menatap dalam diam bahkan ketika laki-laki itu melepaskan helm fullpace.

"Lo beneran nggak inget atau pura-pura nggak inget?"

Cessa merotasikan bola mata. Haruskah ia meneriakkan bahwa ia berpura-pura lupa atas janji yang dilontarkan laki-laki itu siang tadi? Sepertinya tidak perlu. Maka, Cessa membalas datar, "Aku nggak pernah bilang setuju."

Dari sudut matanya, Cessa melihat Calvin tersenyum miring, "Perlu gue ulangin?" Laki-laki dengan seragam yang tak lagi rapi itu berdehem, "Itu perintah, bukan permintaan."

CALVINO [✔️]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang