Sehari setelah menyatakan ingin berhijrah, di hari Sabtu, Hamna mengajak Bu Ningsih menemaninya mencari pakaian syar'i. Ia berniat mengganti semua pakaian yang ia punya dengan pakaian yang baru. Pakaian yang panjang, longgar namun tetap nyaman digunakan. Ia hampir menghabiskan setengah tabungannya untuk membeli pakaian, kaos kaki, hijab hingga 2 buku tentang hijrah dan novel remaja.
"Ummi, makasih banget ya dah anterin Hamna keliling nyari baju." Ujar Hamna sambil mengusap peluh di keningnya.
"Iya, ga papa nduk. Untung abinya Mutiara sama abangnya lagi ada dirumah."
"Apa? Mas Galuh pulang, ummi?"
"Iya baru tadi malam. Memang kamu ndak dengar toh?"
Hamna menggeleng.
"Ah, ummi tahu. Pasti lagi baca buku ya?"
Hamna hanya meringis, "Nggg..... ga tau juga sih ummi. Kayaknya tadi malem abis isya sampe jam 11, Hamna baca, terus bada subuh tadi lanjut lagi sampe kita pergi jam tujuh tadi, Mi. Abis penasaran sih mi. Tanggung kalau ga sampe selesai. Hehehe."
"Yo wes lah. Dah biasa jawabanmu, nduk. Alhamdulillah. Seneng ummi lihatnya. Meski kamu ndak sekolah, tapi ummi yakin pengetahuanmu lebih banyak dari mereka yang sekolah."
"Aamiinn.... Pokoknya mah Hamna cuma seneng aja mi, dapat ilmu. Kata Bu Maryam menuntut ilmu itu seperti jihad, Mi. Pahalanya beeeuuuusaaaar..... Hamna sih ga kepikir untuk jadi saingan sama anak anak yang sekolah kok Mi. Mereka pasti lebih unggul." Ucap Hamna sedikit bersedih mengingat dirinya tidak lagi dapat bersekolah.
"Ya sudah jangan sedih. Akan ada porsinya masing masing dari Gusti Allah." Komentar Bu Ningsih sambil mengelus puncak kepala Hamna. "Nah, sekarang mau beli apa lagi." Bu Ningsih memecah susana sendu itu.
"Alhamdulillah sudah ummi. Segini saja. Cukup buat 4 hari. Kita sekarang cari makan yuk ummi. Hamna lapar. Hehehe". Sambil mengusap usap perutnya.
"Hayuk."
Setelah memesan makanan di salah satu kedai, mereka menunggu sembari berbincang ringan.
"Ummi, Hamna mau ngomong nih sama ummi."
"Lah emang dari tadi ngapain kalau ga ngomong?"
Hamna terkekeh. "Maksudnya itu mi, hmm..... serius gitu."
"Apa sih, kok kayak bahasa pejabat saja. Ya sudah toh, ngomong saja."
Hamna mengambil nafas pelan dan mulai menghembuskannya.
"Gini ummi, kemarin setelah bicara dengan Bu Maryam, Hamna ditanya, apakah Hamna mau terus belajar. Trus Hamna ngangguk. Trus Bu Maryam kasih Hamna ini." Disodorkannya sebuah kertas dengan tertera nama dan alamat di sana. Bu Ningsih membaca dan mengamatinya.
"Jadi kamu mau ke alamat ini? Ini di Bogor loh nduk. Jauh dari sini. Kamu ga takut?"
"Bismillah, ga ummi. Hamna pengen banget belajar. Kata Bu Maryam, di tempat ini ada kampus, trus di kampus itu banyak sekali tempat belajar gratis untuk orang orang seperti Hamna. Hm.... seperti apa ya kemarin, kalau ga salah yayasan, gitu ummi."
"Sudah kamu pikirkan benar, nduk?"
"Sudah, ummi. Hamna pengen belajar."
"Trus nanti kamu hidupnya gimana? Siapa yang masakin? Kamu tinggal dimana?"
Hamna kemudian berfikir kembali.
"Nanti Hamna akan cari kerja, ummi."
Bu Ningsih menatap Hamna dengan perasaan yang sulit digambarkan. Lebih dari 3 tahun kebersamaan mereka. Hamna sudah ia anggap sebagai anaknya sendiri. Kepribadian Hamna yang ceria, semangat dan senang belajar membuat keluarga kecil mereka, terutama Mutiara sangat terbantu. Mereka tidak lagi kesepian. Mutiara dan Hamna saling menyetor hafalan selepas Ashar atau selepas Maghrib bersama dengan suaminya. Namun di satu sisi, dia tidak ingin menahan Hamna untuk terus berkembang. Hamna masih muda, masih panjang jalan kehidupannya. Ia pun masih ingin mencari ibundanya. Ia yakin sepenuhnya suatu hari pasti akan bertemu.
YOU ARE READING
Hadirmu Untukku
General FictionHamna tidak mengerti mengapa ia ditinggal oleh bundanya di rumah bercat hijau ini. Yang ia yakini, bahwa suatu saat nanti bundanya akan kembali menemuinya. Selama masa menunggu, banyak peristiwa yang terjadi pada Hamna hingga hampir saja ia putus as...