Bertemu

72 5 0
                                    


Siang itu Hamna tengah membantu Bu Fatimah menyusun sajian catering yang dipesan oleh Bu Pur. Acara pengukuhan Guru Besar di Auditorium Kampus akan berakhir setengah jam lagi. Mereka berada di sayap kiri Auditorium tempat makan siang di gelar.

"Alhamdulillah beres." Hamna bisa bernafas lega setelah ia selesai menaburkan bawang goreng di sop iga yang terlihat masih setia mengebulkan asapnya. "Emang acara ini tuh apaan sih Ummah? Kok sepertinya serius sekali. Trus yang berpakaian wisuda itu kok sudah tua-tua. Bukan nya kalau wisuda itu seperti teman teman Bang Rino yang muda -muda?"

Hamna merasa bingung melihat acara yang sedang berlangsung. Dulu ketika Bang Rino anak pertama Abah Ucok wisuda, Hamna diajak ke Bandung. Ia melihat acara wisuda dihadiri oleh anak anak muda berpakaian hitam atau yang disebut toga. Ummah menjelaskan mengenai wisuda yang merupakan kelulusan bagi mereka yang telah menamatkan masa belajarnya. Namun saat ini, ia melihat pemandangan yang sedikit berbeda. Sebelum acara berlangsung, orang yang berpakaian hitam itu tidak bisa disebut muda. Hampir semua sudah tua. Apakah ini artinya mereka lama sekali sekolahnya?

Bu Fatimah tersenyum dan duduk bergeser ke sebelah Hamna. "Mereka merupakan Guru Besar, Hamna. Artinya mereka adalah para guru yang telah lama mengabdi sebagai pengajar di kampus ini. Mereka adalah orang orang yang berjasa menyampaikan ilmu kepada para mahasiswa. Nah, acara ini adalah salah satu bentuk apresiasi dari kampus untuk mereka."

"Wah, Ummah. Senang sekali ya kalau bisa membagi ilmu dan menjadi guru besar. Pasti pahalanya terus mengalir. Doakan Hamna juga bisa seperti itu ya Ummah."

Hamna mengatakan itu, terlihat tanpa beban sama sekali. Ia seakan tidak menyadari bahwa saat ini dirinya tidak sedang bersekolah. Keyakinan dan doanya yang tidak pernah putus membuat ia tumbuh kuat sekeras karang. Cita citanya menjadi orang yang bermanfaat menjadi candu untuk terus belajar. Bu Fatimah berkaca-kaca mendengar penuturan Hamna, ia tentu mengaminkan di dalam hati. Mengelus kepala Hamna dengan sayang.

ceklek

Pintu ruang auditorium terbuka. Seseorang laki-laki keluar dengan balutan jas resmi terlihat menjauh dari pintu sambil menempelkan smartphone ditelinganya. Bu Fatimah dan Hamna menoleh ke arah laki-laki tadi. 

"Itu loh anaknya Bu Pur yang akan jadi calon suamimu," ujar Bu Fatimah menyenggol pelan lengan Hamna.

Hamna berusaha menelan ludahnya. Matanya tidak lepas dari mengamati laki-laki tadi. Tinggi, tampan, terlihat dewasa dan... tiba tiba...

"Makanannya sudah siap, Bu?" tanya laki-laki yang sejak keluar ruangan tadi Hamna perhatikan. Sampai ia bertanya kepada Bu Fatimah perihal sajian makan siangnya.

"Sudah siap, Mas Arfan." ucap Bu Fatimah tersenyum.

Laki-laki itu mengangkat kedua ibu jarinya dan masuk kembali ke ruang auditorium. Terdengar sayup-sayup suara MC yang menutup acara secara resmi. 

.....dan ramah.

"Gimana? Ganteng, kan?" Bu Fatimah masih terkekeh melihat Hamna terus memperhatikan pria itu hingga pintu tertutup kembali.

Hamna masih terdiam. Setelah menghembuskan nafas pelan, ia bertanya "Ummah, apa nanti beliau mau sama Hamna? Siapalah Hamna dibanding dengan keluarga Bu Pur? Apa nanti keluarga Bu Pur tidak malu dengan kondisi Hamna? Tidak sekolah seperti mereka." butir air dikedua matanya sudah siap untuk meluncur bebas.

Bu Fatimah segera menyadari situasi yang sedang ia hadapi. Cepat atau lambat Hamna akan tahu bahwa keluarga Bu Pur adalah keluarga yang terpandang dan berpendidikan. Sedangkan Hamna, belumlah jelas asal usulnya. Hanya tamatan SD yang itu pun tidak mendapat ijazah resmi. 

Hadirmu UntukkuWhere stories live. Discover now