Ketika Hamna hendak keluar, Arfan menarik tangan Hamna.
"Maaf." Ujarnya lirih.
Hamna menautkan alisnya, bingung. Mengapa Arfan harus minta maaf.
"Saya makan sambel" cicitnya.
Hamna menepuk jidatnya. Fix. Arfan diare.
"Jangan bilang Mama ya."
Hamna mendengus geli. "Iya Om."
Tidak jadi menuju kamar belakang, Hamna bergegas ke dapur, ia membuatkan teh jahe hangat tanpa gula untuk Arfan.
"Om, ini diminum dulu."
Arfan bergeming. Ia hanya melirik dari sudut matanya dengan posisi masih meringkuk dan memegangi perutnya. Badannya terlalu lemas untuk bangun dan meminum cairan hangat itu. Hamna menggaruk kepalanya, bimbang dengan situasi seperti ini. Meskipun mereka sah sebagai suami istri, namun selama ini Arfan hanya menganggapnya sebagai pengasuh Dzaky.
"Sakit...." lirih Arfan.
Menghembuskan nafas pendeknya, Hamna mulai mengambil minyak kayu putih, membuka sedikit kaos Arfan dan mulai menggosokkan minyak itu diperutnya. Sambil membacanya beberapa doa yang ia hafal, Hamna menggulingkan badan Arfan ke samping dan mulai menggosok punggungnya juga. Setelahnya ia membantu Arfan duduk menyender di kepada ranjang dengan susah payah. Meskipun Arfan sedang lemas, namun bobot tubuhnya yang jauh lebih besar dari Hamna menyulitkan ia mendapatkan posisi yang nyaman buat Arfan, sehingga yang dilakukannya adalah menumpuk semua bantal dan guling dan membuat Arfan lebih nyaman. Diambilnya selimut dan menutupinya hingga ke perutnya. AC kamar ia matikan dan mulai menyuapi Arfan teh jahe dengan sendok satu per satu hingga minuman itu habis.
Keringat Arfan mulai mengalir, nafasnya mulai teratur. Sepertinya perutnya tidak lagi ada masalah. Jika ia tidur dalam keadaan keringat seperti ini, khawatir timbul masalah baru, Hamna berinisiatif untuk mengganti kaos yang digunakannya. Tidak perlu lama untuk mendapatkan kaos yang di cari. Karena selama ini memang Hamna yang menyusun semua pakaian Arfan. Mak Iyah yang menyarankannya agar menjadi istri yang totalitas katanya. Setelah mengambil satu buah kaos, Hamna membantu Arfan membuka bajunya. Awalnya Arfan kaget, namun ia sepertinya tidak sanggup menolak. Karena selain memang masih lemas, ia juga merasa kotor dengan baju yang dipakainya saat ini. Bolak balik ke kamar mandi bisa saja terpapar najis.
Hamna bekerja dalam diam. Ia terlalu canggung berada sedekat itu dengan Arfan. Setelah mengganti kaos Arfan, ia masuk kedalam kamar mandi dan sedikit terkejut melihat ada kotoran yang bercecer. Tidak mungkin didiamkan hingga esok hari, Hamna mulai membersihkannya. Arfan yang mendengar suara sikat yang beradu dengan lantai kamar mandi merasa semakin bersalah. "Maaf" cicitnya sebelum matanya tertutup lelah.
************
"Om, bangun dulu, sudah subuh." Terdengar suara gorden di sibak, jendela dibuka. Mengundang udara pagi yang sejuk masuk kedalam kamar Arfan.
Arfan menggeliat lemah. Mencoba meraih kembali seluruh kesadarannya.
"Kalau belum kuat ke kamar mandi, boleh tayamum kok. Ini sarung baru untuk digunakan shalat. Saya akan kembali 10 menit lagi ya Om."
'Bicara dengan siapa gadis itu. Sama tembok apa' Arfan berdecak heran. Berusaha bangun namun kepalanya masih terasa pusing. Ia urungkan lagi niatnya ke kamar mandi. Menghela nafas lagi, pasrah. Mulai tayamum. Mengganti sarungnya dan mulai mengerjakan shalat Subuh sambil duduk diatas kasurnya.
"Om, sudah selesai?" terdengar juga suara pintu diketuk.
"Ya."
Hamna masuk dengan mangkuk dan secangkir minuman hangat yang masih mengepulkan asapnya. "Dimakan dulu ya Om mumpung masih hangat. Saya tinggal dulu 5 menit. Kalau belum dimakan, mau ga mau harus saya paksa." ujar Hamna tanpa ekspresi, meletakkan baki disamping Arfan, mengambil sarung yang kotor dan berlalu dari hadapan Arfan.
YOU ARE READING
Hadirmu Untukku
General FictionHamna tidak mengerti mengapa ia ditinggal oleh bundanya di rumah bercat hijau ini. Yang ia yakini, bahwa suatu saat nanti bundanya akan kembali menemuinya. Selama masa menunggu, banyak peristiwa yang terjadi pada Hamna hingga hampir saja ia putus as...