Rasa Itu

80 6 0
                                    


"Om, hari Rabu depan saya kan bawa Dzaky ke dokter ya."

"Ya."

Arfan hanya mengatakan dua huruf itu tanpa sedikitpun pandangannya beralih dari gawainya. Hamna hanya bisa mengelus dada, sedih. Berharap Arfan mau mengantarkan Dzaky menemui dokter. Seharusnya Dzaky anak yang beruntung, anak semata wayang itu bukannya seharusnya dimanja ya? Entah bagaimana pemikiran Arfan pada Dzaky. Apakah ia sayang pada putra satu-satunya itu? Hamna tidak ingin berburuk sangka, mungkin Arfan sibuk, jadi memang tidak bisa menemani. 

Semua sudah tercatat rapi dalam buku tulis Hamna yang sederhana. Informasi yang ia kumpulkan mengenai Dzaky dari berbagai sumber. Mak Iyah adalah informan utama. Kemudian Bu Pur, juga Bu Hida. Ia berhasil mendapat informasi penting dari Bu Hida setelah ia mengatakan status yang sebenarnya. Awalnya Bu Hida nampak kaget, namun setelah Hamna jelaskan semuanya juga tujuannya, Bu Hida bahkan memeluk Hamna, terharu. Ia ternyata sangat berharap Dzaky bisa mendapat kasih sayang orang tua yang utuh. Pengobatan merupakan pelengkap saja, namun yang utama adalah kasih sayang dari orang orang terdekatnya. Bu Hida mendukung Hamna yang akan membawa Dzaky berobat dan terapi. 

Umur Dzaky yang terus bertambah membuat Hamna tidak bisa berlama-lama membiarkan Dzaky tanpa melakukan apa-apa. Apalagi berharap Arfan yang mengajaknya ke dokter. Mungkin sampai Dzaky menikah nanti, belum tentu Arfan mau membawanya ke dokter. Hihihi..... Pikiran Hamna jauh sekali sampai Dzaky menikah. 

Dengan bekal yang ia punya-catatan di buku sederhananya- Hamna bermaksud mendatangi dokter anak terlebih dahulu. Itu yang disarankan oleh Bu Hida. Setelahnya silakan mengikuti apa yang dokter sampaikan.

************

Dokter tampan di depan Hamna dan Dzaky itu menghela nafas panjang. Tiga kali ia melakukan itu sebelum akhirnya berbicara. "Sudah sejak 2 atau 3 tahun yang lalu saya minta sama ayahnya Dzaky untuk melakukan tes dan terapi. Mengapa baru munculnya?" Sepertinya Dokter itu teramat kecewa. Hamna pun bingung harus berkata apa. Tidak mungkin ia mengatakan bahwa papa dan mamanya Dzaky telah berpisah. Atau Arfan sibuk, tidak ada waktu untuk antar Dzaky ke dokter. Atau Dzaky tidak mengeluh sakit apa-apa sehingga tidak perlu ke dokter. Hamna menggaruk kepalanya yang tidak gatal dan menoleh ke arah Dzaky. Anak yang ditatapnya hanya menyusun balok kecil diatas meja praktek dokter tampan itu. Tidak menghiraukan percakaan kedua orang di sekitarnya. Hamna memilih untuk diam dan mendengarkan apa yang dokter itu katakan. Dan sepertinya Dokter itu lupa dengan wajah mamanya Dzaky - Bu Gina-.

"Kita harus melakukan tes dulu untuk memastikan diagnosa ini, Bunda. Saat ini yang terpenting adalah, Bunda dan keluarga tidak perlu sedih dan khawatir berlebihan. Autisme bukanlah penyakit jiwa dan bukan penyakit menular. Autisme lebih kepada gangguan perkembangan pada otaknya. Dzaky tetap bisa menjalankan kehidupannya secara normal dengan dukungan orang orang terdekatnya. Saya akan buatkan jadwal terkait tes dan pemeriksaan lanjutan serta terapi jika memungkinkan ya Bunda." Dokter muda berkacamata itu menjelaskan kepada Hamna mengenai apa yang terjadi pada Dzaky. 

"Terima kasih Dokter Gunawan. Tapi masih banyak yang ingin saya tanyakan, Dok." Hamna membuka daftar pertanyaan yang telah ia siapkan di buku kecilnya.

Dokter Gunawan membetulkan kacamatanya. "Silakan, Bunda. Tidak usah buru-buru. Dzaky merupakan pasien saya hari ini yang terakhir. So, take your time." 

*************

Setelah puas tanya jawab dengan Dokter Gunawan, Hamna menggandeng Dzaky menyusuri koridor rumah sakit menuju pintu keluar. Hamna terkejut ketika tidak jauh dari tempatnya berjalan, ada seseorang yang sudah lama ia rindukan nasihatnya. Seseorang yang ia rindukan canda tawanya. Bergegas ia mendekati orang itu.

Hadirmu UntukkuWhere stories live. Discover now