Keesokan paginya setelah sepasang suami istri itu selesai sarapan, Arfan memanggil istrinya yang terlihat sibuk dengan piring kotor.
"Na, kesini dong. Tinggal aja piring kotornya, nanti kan Mak Iyah datang."
"Cuma dikit kok Mas."
"Ini bakal lama soalnya, saya dah mau berangkat kan Na."
"Iya Mas." Hamna berjalan menuju meja makan, duduk disebelah Arfan dan terkejut ketika Arfan mengangsurkan sebuah kotak putih ke tangannya. "Apa ini Mas?"
"Bukalah"
Perlahan Hamna membuka kotak itu. Sejenak ia terbelalak melihat benda yang berada di tangannya. Ia memandang Arfan bingung.
"Suka?" Hamna hanya mengangguk pelan sambil terus mengamati benda itu, lalu ia menggeleng pelan. Membuat Arfan gemas dengan tingkahnya. Suka kok malah menggeleng. Ia mengacak puncak jilbab Hamna dan mengambil alih benda itu.
"Saya kasih kamu handphone agar mudah dihubungi. Di sini sudah saya simpan nomor saya, tekan saja angka 1 kalau mau telpon. Nomor Mama dan Bu Fatimah juga sudah saya simpan. Sini saya ajarkan bagaimana cara menggunakannya." Dengan sabar Arfan mengajarkan Hamna menggunakan smartphone itu. Sudah lama sebenarnya Arfan ingin membelikan Hamna smartphone untuk memantau Dzaky lebih tepatnya. Namun sikap egoisnya dan gengsinya menghalangi niatnya itu.
Mengajarkan Hamna menggunakan smartphone baru itu ternyata membuat jarak wajah diantara mereka terkikis.
"Jadi kalau tidak ada wifi, ganti ke selular data ya, Mas?"
"Iya, betul. Caranya kayak gini." Arfan dengan sabar menuntun Hamna menggunakan gadget barunya.
Cup
"Eh..."
"Itu bayaran setiap pertanyaan yang kamu ajukan."
"Isshh..... tega banget sih Mas. Aku kan tanya karena ga ngerti."
"Makanya tanya yang banyak biar ngerti. Kan lumayan tuh, bayarannya jadi banyak juga. Hehehehe." Arfan terkekeh melihat Hamna tersenyum cemberut.
"Hm....Kalau ini, gimana Mas? Mau tulisan ini pindah ke WA." Hamna masih konsentrasi mengotak atik mainan barunya. Sedikit mengabaikan apa yang Arfan lakukan.
"Nih lihat ya, tinggal di blok seperti ini, terus di copy terus kamu pindahin ke tempat yang kamu mau taruh, tinggal di paste. Nah gitu. Gampang kan?"
"Eh iya, gampang. Jadi ga perlu ketik ulang kan ya Mas."
"Yes, betul."
Cup
"Ih.....Mas Arfan mah." Hamna mengelus pipinya yang mungkin sudah bersemu merah saat ini.
"Hahaha..... ayo tanya lagi."
Kalimat itu membuat Hamna mendelik dan memukul paha Arfan dan mencubit perutnya. Arfan meringis kesakitan.
Setelah melontarkan 7 pertanyaan, Hamna dengan cepat menguasai penggunaan handphone itu. Arfan yang masih menunggu pertanyaan selanjutnya sambil memejamkan, berharap ada kalimat yang keluar dari mulut mungil Hamna. Setelah ditunggu hingga 5 menit, ternyata Hamna sudah mulai asyik sendiri dengan gadget barunya. Arfan mengerucutkan bibirnya.
"Yaaaah..... dah ga ada lagi pertanyaan, nih."
"Eh, eng itu Mas, Hamna sudah faham. Makasih banyak penjelasannya. Udah gih, sana berangkat. Nanti telah loh. Itu bekal makan siangnya dah Hamna siapkan."
Arfan melirik jam tangannya, ia mendesah, sudah waktunya berangkat jika tidak ingin terlambat. Ia berdiri tanpa semangat. Mengambil kotak bekalnya dan berjalan gontai kearah pintu depan. Hamna ikut mengantarkan Arfan hingga ke mobil dan menyalaminya.

YOU ARE READING
Hadirmu Untukku
Narrativa generaleHamna tidak mengerti mengapa ia ditinggal oleh bundanya di rumah bercat hijau ini. Yang ia yakini, bahwa suatu saat nanti bundanya akan kembali menemuinya. Selama masa menunggu, banyak peristiwa yang terjadi pada Hamna hingga hampir saja ia putus as...