"Loh Non, tumben masih dirumah, ga antar Dzaky?" tanya Mak Iyah ketika baru datang pagi itu."Dzaky sudah diantar sama papanya, Mak."
"Oooo, tumben. Ya sudah, Mak ke belakang dulu ya."
"Iya Mak."
Hamna masih juga belum bisa fokus dengan buku yang ada dihadapannya. Gelisah, menyalakan TV, ganti channel, dimatikan. Begitu terus hingga Mak Iyah bingung dengan tingkah nyonya muda barunya.
"Non Hamna kenapa sih, kok kayak galau gitu?"
"Eh, ga-ga papa kok Mak." Mematikan TV dan kembali fokus dengan bukunya.
"Sudah, ga usah ditutupi. Mak kan gini-gini pernah muda. Lagi berantem sama den Arfan?" Mak Iyah tersenyum seperti menggoda.
Hamna sedikit kaget dengan pertanyaan Mak Iyah.
"Ah, ga kok Mak. Biasa aja."
"Lah trus kenapa mukanya kaya kanebo kering gitu. Kaku." Mak Iyah terkekeh sendiri mendengar istilah yang keluar dari mulutnya.
"Hahaha, bisa aja nih Mak Iyah. Ga ada apa-apa Mak. Emang lagi pusing aja nih baca buku kayak gini." Hamna menyodorkan buku pinjaman dari dokter Gunawan ke hadapan Mak Iyah. Dalih yang cukup cerdas.
"Ihhh.... serem juga ya tu buku." Mak Iyah bergedik setelah membaca judulnya.
"Tuuuh kan, pusing." kata Hamna lega karena tidak perlu diperpanjang diskusinya.
Mak Iyah memang orang yang belum berhenti bertanya ketika ada yang yang mengganggu pikirannya. Seperti pertama kali melihat Hamna keluar dari kamar belakang, Mak Iyah memburu Hamna dengan segudang pertanyaan. Kenapa tidur dikamar itu, kenapa tidak dengan Arfan, kenapa baju-baju Hamna di lemari belakang, bukan di lemari bersama Arfan, bagaimana jika Bu Pur tahu dan rentetan pertanyaan sejenis.
Hingga Hamna menjawab bahwa dirinya hanya menggunakan kamar belakang seperti hal nya Arfan yang memiliki ruang kerja sendiri. Ia membutuhkan meja kecil di kamar belakang untuk dirinya meletakkan buku-bukunya. Hamna mengatakan kalau dia tidak bisa membaca jika suasana bising, jadi dia membutuhkan kamar belakang untuk belajar. Baju-bajunya juga ia letakkan di sana dengan dalih hanya sebagian saja. Alhamdulillah Mak Iyah percaya. Sejak saat itulah, sejak pagi sebelum Mak Iyah datang, Hamna sudah membersihkan kamar belakang seakan-akan memang tidak pernah digunakan. Hanya mejanya saja yang digunakan.
"Non, kalau pusing, kata orang tua dulu, pergi ke masjid. Pusingnya bakal ilang." setelah mengatakan hal itu, Mak Iyah ngeloyor pergi.
Sesaat kemudian Hamna terpekik gembira.
"Ya Allah, iya... Masjid !" seperti sudah menemukan jawabannya, Hamna berlari mengejar Mak Iyah. Hamna memeluk Mak Iyah dari belakang. " Makasiiiihhhh Mak Iyah yang syantiik...."
"Ya Allah, Non, bikin kaget aja. Makasih apaan?" Mak Iyah mengusap-usap dadanya akibat terkejut dengan pelukan Hamna tiba-tiba.
"Hehehe, maaf ya Mak. Cuma nanti setelah jemput Dzaky, Hamna mau ke masjid depan komplek dulu ya Mak. Mau ngilangin pusing."
"Oala..... iya iya. Mak kira apaan."
kriiing........ kriiing..........
Bunyi telepon rumah terdengar. Dilepaskan pelukan dari Mak Iyah, Hamna mencubit gemas pipi Mak Iyah yang tidak lagi banyak dagingnya. Kemudian lari menjauh setelah melihat mata Mak Iyah melotot menyeramkan.
"Eh, bocah awas ya" teriak Mak Iyah jenaka. Ia melanjutkan menjemur baju di taman belakang.
Sambil tertawa Hamna mengangkat telepon di ruang tengah.

YOU ARE READING
Hadirmu Untukku
General FictionHamna tidak mengerti mengapa ia ditinggal oleh bundanya di rumah bercat hijau ini. Yang ia yakini, bahwa suatu saat nanti bundanya akan kembali menemuinya. Selama masa menunggu, banyak peristiwa yang terjadi pada Hamna hingga hampir saja ia putus as...