Hari berganti, minggu berganti, bulan pun berganti. Tidak terasa sudah tiga tahun Hamna tinggal dengan keluarga Abah Ucok. Belajar setiap malam bersama Fauzan, belajar masak dengan Ummah, dengan Bu Yeni, bahkan sesekali Fauzan pun mengajarkan resep baru kepada Hamna. Hamna semakin lihai dalam memasak. Membantu setiap kali ada pesanan catering, mulai dari berbelanja, memilih sayur yang segar, ikan, daging, seafood, memasak menu dari yang tradisional masakan Indonesia, dan beberapa resep masakan international, hingga cara menyajikan ketika pesanan meminta metode prasmanan. Hamna teramat menikmati hidup bersama keluarga Abah Ucok. Selain mereka memang keluarga yang humble, juga karena ia bisa terus belajar sesuai dengan usianya. Hingga ia melupakan tujuan awalnya pergi ke Bogor mencari Yayasan Prestasi Muda yang diberitahu Bu Maryam. Ia menganggap dengan belajar bersama Fauzan, sudah cukup baginya mendapatkan apa yang ia inginkan.
Keluarga Abah Ucok bukannya tidak menawarkan sekolah kepada Hamna, bahkan Ummah pernah mengajak Hamna ke sekolah Fauzan untuk didaftarkan juga bersekolah di sana. Namun hal itu tidak bisa terwujud dengan mulus. Dokumen administrasi yang tidak dimiliki Hamna merupakan hambatan terbesarnya. Ia tidak memiliki dokumen seperti akte lahir, kartu tanda penduduk, kartu keluarga dan sebagainya. Ketika SD, Hamna hanya menyerahkan surat keterangan dari Panti Asuhan tempat tinggalnya, dan sekolah tidak mempermasalah dokumen tersebut, namun hal itu pula yang membuat Hamna tidak mendapat ijazah resmi dari sekolahnya. Pengurusan dokumen seperti itu ternyata tidak mudah. Asal usul Hamna sebagai pendatang, tidak membawa surat pindah dan sebagainya mempersulit mendapatkan surat pengantar dari RT/RW. Sampai akhirnya Hamna berfikir tidak ingin menambah beban keluarga Abah dan Ummah, ia cukup puas dengan belajar informal bersama Fauzan. Toh ia merasa tidak membutuhkan ijazah. Yang ia inginkan hanyalah belajar, membaca, cukup.
Selain itu semua, Ummah selalu mengajak Hamna ke majelis ilmu setiap Ahad. Kantin Bang Ucok memang libur setiap Ahad, kecuali ada pesanan catering atau nasi Box. Majelis ilmu yang sering didatangi Ummah dan Hamna ada di Masjid Kampus. Materi yang disampaikan sangat bervariasi. Mulai dari aqidah, akhlaq, ibadah, muamalah, fiqh dan sebagainya. Menambah ilmu bagi Hamna. Ia sering bertanya kepada pemateri, disaat tidak ada yang mau bertanya. Sehingga ia cukup dikenal dikalangan majelis ilmu tersebut. Ummah sudah menganggap Hamna sebagai anaknya. Baju-baju panjangnya, gamis dan khimar sewaktu ia masih muda sudah ia serahkan kepada Hamna. Karena memang tidak bisa ia turunkan ke anaknya yang semua adalah laki laki. Hamna pun amat bersyukur karena Ummah mampu menggantikan peran ibu baginya.
"Ummah, ternyata pergaulan antara perempuan dan laki-laki batasnya sangat jelas ya. Salah satunya hindari berkhalwat. Nah, Hamna sedang bingung nih ummah, kalau setiap malam Hamna dan Fauzan belajar di kantin, bagaimana ya hukumnya?" tanya Hamna suatu hari sepulangnya mereka dari kajian mengenai batasan pergaulan antara perempuan dan laki-laki.
"Benar, sayang. Tentu ada batasannya." Ujar Ummah singkat dengan senyum mengembang.
"Jadi kita udah ga boleh lagi belajar sama sama ya Ummah?" Hamna belum puas dengan jawaban Ummah yang singkat tadi. Sebenarnya tadi ia ingin sekali menanyakan kepada Ustadz yang memberikan materi. Namun ternyata waktu pemaparan sudah habis dan Ustadz nya harus pergi lebih awal demi mengisi kajian ditempat lain. Sehingga Ummah lah yang menjadi pelampiasan pertanyaan Hamna.
"Hahaha, ummah yakin pasti kamu akan bertanya lagi."
Hamna malu dan menunduk. "Iya, Ummah, maaf. Karena Hamna masih mau terus belajar."
"Iya, tidak masalah. Bismillah, akan ummah jelaskan ya. Jadi sepemahaman ummah, itu adalah perkara yang syubhat yaitu perkara yang halal tapi sangat berdekatan dengan haram. Memang sebaiknya dihindari. Mengapa? karena kegiatan itu dekat dengan khalwat yang diharamkan. Banyak pendapat dikalangan ulama mengenai batasan berkhalwat ini. Menurut Syaikh Taqiyuddin An Nabhani, khalwat adalah bertemunya laki-laki dan perempuan di suatu tempat yang tidak memungkinkan seseorang untuk masuk atau berada ditempat mereka berdua kecuali atas izin keduanya. Misalnya ditempat yang sunyi, di dalam kamar, yang jauh dari keramaian."*
Hamna mengangguk mulai mengerti.
*(Taqiyuddin An Nabhani, An Nizham Al-Ijtima'I fil Islam, hal 103).
"Eng.... Biasanya kalau Hamna di kantin, Fauzan di dapur, kok Ummah. Dia utak atik resep baru dan malah asik masak sendiri. Kalau udah selesai masak, baru duduk ngambil PR nya. Kalau dia mau belajar baru tanya. Tapi sih seringnya cuma numpang makan, trus tanya PRnya dah selesai belum. Kalau udah, dia langsung pergi aja gitu."
"Hahaha, emang dasar Fauzan. Dah ga semangat dia kalau disuruh sekolah umum. Abahnya tetap maksa karena dia masih belum rela anaknya terjun ke dapur sama seperti dirinya." Ujar Bu Fatimah
Sambil membuka buku di hadapannya, Bu Fatimah melanjutkan, "Nah, menurut Ummah, kalau kalian kan tempatnya di kantin yang terbuka, bisa saja Ummah atau Abah lewat, orang lain juga bisa keluar masuk kantin. Itu bisa dikatakan kalau kalian tidak sepenuhnya berkhalwat. Namun untuk menghindari itu, saran Ummah, bagaimana kalau kalian belajarnya pindah ke ruang tamu. Disana kan terbuka sampai dapur. Ada Abah yang biasa nonton TV atau baca di meja makan. Atau coba tanya Fauzan, mau ga dia ajak temannya untuk belajar bareng. Bisa bertiga atau berempat. Tuh ajak Maria atau Naufal belajar sama sama." Saran Ummah kepada Hamna.
Maria dan Naufal memang satu sekolah dengan Fauzan. Mereka juga kerap kali berjalan bersama ketika pulang dan berangkat sekolah. Rumah mereka yang cukup berdekatan mendukung hal tersebut. Terkadang mereka pun membeli lauk dan memesan kue kue di Kantin Bang Ucok.
"Ooo iya ya Ummah. Tapi kayaknya kalau Maria agak sulit Ummah. Kata Fauzan, dia sombong. Kalau Naufal mungkin bisa sih, tapi dia sering bercanda dari pada seriusnya."
"Hahaha, ummah percaya kalian bisa menemukan solusinya. Sudah besar gitu loh. Apalagi kamu nak." Ucap Bu Fatimah sambil mengelus kepala Hamna yang tertutup khimar biru muda itu.
"Hm... Maksudnya apa ummah?" tanya Hamna bingung, belum paham sepenuhnya.
"Sudah cocok jadi mantunya Ummah." Senyumnya mengembang
"Huaaaaaa...... ummah......" Hamna berteriak sambil menutup mukanya, malu.

YOU ARE READING
Hadirmu Untukku
General FictionHamna tidak mengerti mengapa ia ditinggal oleh bundanya di rumah bercat hijau ini. Yang ia yakini, bahwa suatu saat nanti bundanya akan kembali menemuinya. Selama masa menunggu, banyak peristiwa yang terjadi pada Hamna hingga hampir saja ia putus as...