Esok hari, Hamna merasa jauh lebih baik. Ia bersikeras untuk bisa turun dari kasurnya. Rasanya lebih sehat jika bisa berjalan jalan. Dan mulai pagi hari Hamna sudah merayu dokter yang berkunjung untuk mengizinkan infus ditangan kirinya dilepas. Dengan alasan, ia sudah bisa makan dan minum secara mandiri. Tidak hanya itu perjuangannya. Ia merayu perawat untuk melepas kateternya. Ia membuktikan kalau ia bisa pergi ke kamar mandi sendiri. Arfan yang melihat kegigihan Hamna hanya bisa geleng-geleng kepala saja sambil tersenyum tipis.
"Nah gitu dong. makasih banyak ya suster cantik." ujar Hamna tersenyum lebar ketika keinginannya dikabulkan. Ia segera mencari baju ganti yang Arfan bilang ada di dalam tas biru. Entah kapan Arfan mengambil baju gantinya, yang penting saat ini, Hamna hanya ingin mandi, sikat gigi dan mengganti pakaiannya. "Makasih ya Om, sudah dibawain bajunya."
"Hmmm...." lirih Arfan tanpa mengalihkan pandangannya dari ponsel ditangan.
"Ishhh..... datar amet sih jadi orang" gerutu Hamna bergegas ke kamar mandi.
"Apa katamu?"
"Eh... ng... nggak kok. Hehehe"
Braaak.... suara pintu kamar mandi ditutup keras oleh Hamna. Gugup.
Sekali lagi, Arfan hanya bisa berdecak dan geleng-gelengkan kepalanya.
************
"Om..... om pulang saja gih. Istirahat di rumah, Saya saja yang jaga Dzaky." ujar Hamna setelah keluar dari kamar mandi. Ternyata baju yang dibawakan Arfan semua masih ada labelnya. Baru. Hamna yakin Arfan pasti belum pulang. Hm... tapi kenapa ukurannya pas semua ya?
"Kenapa, ga suka saya disini?"
"Bu-bukan gitu sih. Cuma saya kasian dari kemarin Om tidurnya sambil duduk gitu. Pasti ga nyaman."
"Hm.... gitu ya. Kok kamu jadi perhatian sama saya gitu." Goda Arfan
"Eh, siapa? Ga sih.... terserah Om aja lah." Hamna cemberut. Ia berjalan ke arah ranjang Dzaky. Dielusnya kepala anak itu. Sejurus kemudian ia telah hanyut dalam murajaahnya, sambil mengelus punggung tangan Dzaky perlahan. Bacaan Hamna ya merdu dan penuh penghayatan membuat Arfan yang mendengar turut terlena hingga ia tertidur di sofa.
Hari ini, Arfan meminta petugas keamanan yang menjaga ruangan VIP itu tidak menerima tamu yang berkunjung. Ia ingin memastikan Hamna dan Dzaky mendapat kesempatan beristirahat dengan layak. Ditambah kekesalan Arfan ketika kunjungan Galuh kemarin. Setelah apa yang Galuh sampaikan, membuat Arfan merasa direndahkan. Bagaimana mungkin ia bisa di cap tidak bertanggungjawab akan Hamna dengan kejadian ini. Meskipun memang ia akui bahwa selama ini ia belum bisa menjadi suami yang sesungguhnya bagi Hamna, namun tidak sedikit pun terbesit di pikirannya untuk melepas tanggungjawabnya dalam menjaga Hamna dan Dzaky.
Tanpa banyak kata, Arfan mengusir Galuh dan temannya. Berkata untuk tidak perlu lagi datang menemui istrinya. "Hamna akan aman bersama saya. Terima kasih atas perhatian anda." tegas Arfan yang menolak bersalaman dengan Galuh sebelum mereka akhirnya undur diri.
Jadi hari ini, hanya ada mereka bertiga diruangan VIP itu. Sesekali perawat datang mengecek keadaan Hamna dan Dzaky. Juga kunjungan dokter dan pegawai rumah sakit yang mengantar makanan untuk Hamna. Arfan akhirnya bisa terlelap dengan nyaman sembari mendengar lantunan murojaah dari bibir mungil Hamna.
"Arrghhh....." Hamna menghentikan bacaannya. Menoleh ke arah suara tadi. Dzaky !
"Sayang..... Dzaky.... sudah sadar nak?" tangan Hamna mengelus kening Dzaky pelan.
"Bu...bun... bun...da..."
"Masya Allah, iya nak, Bunda disini." kecupan Hamna mendarat dikening Dzaky berkali kali. Airmatanya mengalir deras. Terharu dan bersyukur dengan kondisi Dzaky yang sudah bisa sadar. "Dzaky mau minum?" yang ditanya hanya mengangguk lemah. Kemudian Hamna menyodorkan sedotan untuk memudahkan Dzaky meminum dari gelas berisi air mineral. Setelahnya ia kembali tertidur.
YOU ARE READING
Hadirmu Untukku
General FictionHamna tidak mengerti mengapa ia ditinggal oleh bundanya di rumah bercat hijau ini. Yang ia yakini, bahwa suatu saat nanti bundanya akan kembali menemuinya. Selama masa menunggu, banyak peristiwa yang terjadi pada Hamna hingga hampir saja ia putus as...