Menggendong tas ransel dan menenteng satu tas kecil berisi buku dan botol air minum dan kotak makan siang yang telah disiapkan oleh Bu Ningsih sebelum ia berangkat tadi pagi, Hamna berjalan bergegas menuju pintu keluar stasiun Bogor. Berbekal alamat di secarik kertas yang ia taruh di dompet satu kantong, ia mulai mencari angkutan umum yang sesuai.
"Ah, Mas Galuh salah kali nih. Katanya di Bogor sejuk. Kok baru jam 10 dah puanas begini ya." ujar Hamna sambil menyeka keringat yang mengalir di pelipis dibalik hijabnya.
"Kampus.... kampus...." teriak beberapa orang menawarkan jasa angkutannya. Hamna melirik dan mempertimbangkan apakah benar itu angkutan yang di carinya atau bukan. Ia mengamati sekali lagi sambil menoleh ke kanan ke kiri ingin mencoba bertanya hanya untuk memastikan ia tidak akan salah naik. Hingga ekor matanya menangkap seorang ibu paruh baya yang terlihat kesulitan membawa barang belanjaannya. Ibu itu terlihat menenteng tas belanjaannya yang penuh sayur dan teman temannya. Merasa tidak tega karena tidak ada yang membantu, Hamna berlari menghampiri ibu tersebut.
"Mari, Bu, saya bantu." Ibu itu menoleh memandang Hamna dan segera menyodorkan tiga tas kreseknya kepada Hamna.
"Makasih, ya Dek. Nih tolong bawa kresek merah yang ini saja."
"Baik bu. Sini yang hitam juga ga papa. Tangan saya masih bisa satu kantong lagi."
"Jangan, ini berat. Saya aja."
"Oiya bu. Kalau begitu semangkanya saya bawain ya Bu." Bergegas Hamna ambil sebutir semangka besar yang masih ada di aspal. Ibu itu mengangguk pasrah.
Mereka berjalan menuju angkot yang berjejer. Sekitar 100 meter dan Hamna terus mendengar si Ibu mengumpat berulang kali.
"Aduh..... dasar tuh budak emang gelo sia. Aing ditinggal sorangan". Sungut ibu tadi berapi api sambil berjalan menuju angkot biru. Hamna yang mengekor ibu sambil membawa tentengan plastik besar tersebut hanya bisa tersenyum tidak mengerti apa maksudnya. Hanya ia menangkap bahwa si Ibu sedang kesal dengan seseorang.
Sesampainya mereka disamping angkot berwarna biru. Si ibu dan Hamna menaruh di aspla barang belanjaannya.
"Mang, sampe rumah Bang Ucok ya." Tawar si Ibu kepada salah satu kernet angkot yang sedang ngetem.
"Nambah goceng ya Bu."
"Halah, mahal teuing itu mah. Tiga rebu ajah lah"
"Yah kan duaan tuh sama si eneng". Kernet tersebut mengangkat dagunya ke arah Hamna.
Si ibu beralih menatap Hamna, "Eh iya ada si eneng. Neng, emang mau kemana?" sampai lupa ia bahwa ada orang lain yang membantunya.
"Saya mau ke kampus Bu. Mencari alamat ... eng.... eh, aduh, kemana ya dompet saya." Hamna mencoba merogoh saku rok nya, saku kanan kiri tas ranselnya, "loh kok ga ada, tadi saya taruh disitu kok".
"Eh, dompet Neng ilang?" tanya si Ibu sedih. Dia merasa bersalah karena bisa jadi dengan menolong dirinya, Hamna jadi kecopetan. "Maaf ya Neng. Karena tadi bantuin ibu sih ya." Si ibu berkata merasa bersalah.
"Bukan salah ibu kok. Ini karena saya kurang baik simpannya." Sambil mencoba lagi mencari ditempat yang mungkin saja dompetnya berada. "Tapi tetap tidak ada." Hamna menggaruk kepalanya yang tertutup jilbab. Rasanya ia ingin menangis.
"Bu, jadi ga nih naik? Dah banyak yang antri mau masuk nih" Si kernet merasa kesal karena Hamna dan belanjaan si Ibu menghalangi penumpang lain yang mau masuk. Sehingga mereka beralih masuk ke angkot sebelahnya.
"Eh iya, iya bentar." Si ibu jadi bingung. "Neng, ikut saya aja dulu ya, bantuin ini ngangkat barang. Nanti cari alamatnya di rumah Bang Ucok aja. " Si Ibu memohon kepada Hamna. "Kalau balik lagi juga belum tentu ketemu. Banyak pencopet emang di sini." lirihnya. "Lagipula trus Neng nanti sama siapa di sini."

YOU ARE READING
Hadirmu Untukku
Fiksi UmumHamna tidak mengerti mengapa ia ditinggal oleh bundanya di rumah bercat hijau ini. Yang ia yakini, bahwa suatu saat nanti bundanya akan kembali menemuinya. Selama masa menunggu, banyak peristiwa yang terjadi pada Hamna hingga hampir saja ia putus as...