32

10.2K 1.2K 146
                                    

Lorong ini tampaknya sudah sangat akrab bagi Jeno. Keseharian yang ia habiskan disini, membuat ia bahkan mengenal beberapa dokter dan perawat yang saat ini masih terlihat berlalu-lalang.

Jas kantor telihat masih terpasang rapi ditubuh tegapnya. Pemuda itu seolah tak berniat melepaskan meskipun jadwal bekerja telah habis sejak beberapa jam lalu. Ditangannya, telah ada sekotak kue untuk bisa ia berikan pada seseorang.

Ia membuka pintu dihadapannya dengan pelan dan senyuman pun langsung terkembang di wajah tampan si pemuda Lee ketika telah melihat sosok pujaan hatinya.

Rasa lelahnya karena telah bekerja seharian langsung terbayar setelah bisa melihat Renjun hari ini.

"Aku datang." Jeno menyapa Renjun seperti biasa. Meletakkan kotak kue itu di atas cabinet dan mengeluarkan isinya untuk bisa ia persiapkan. Menyusun beberapa lilin dan menghidupkannya dengan pematik, hingga saat ini kamar rawat Renjun terbias oleh cahaya oranye dari lilin-lilin.

"Selamat ulang tahun, sayang." ucap Jeno sebelum meniup lilin berangka 24, bersamaan dengan padamnya lililn-lilin lain yang mengelilingi kue itu. Ia lalu membawa tangan Renjun untuk bisa berada di dalam genggamannya dan merasakan bagaimana jari jemari si pemuda Huang yang semakin hari semakin terasa kurus.

Cahaya temaram dari kamar perawatan Renjun tak sedikit pun bisa menyembunyikan mata Jeno yang telah berair. "Sampai berapa lama kau mau tertidur?" Jeno bertanya pelan pada keheningan. Renjun dihadapannya masih terlihat tak berniat untuk terbangun, membuat Jeno menghela nafas dengan pelan demi bisa mengurangi rasa berat yang mengganjal di hatinya.

Dua tahun.

Dua tahun terlalui dengan Renjun yang masih betah membisu dalam tidur panjangnya.

Keadaan rumah sakit yang mulai sepi karena telah hampir tengah malam membuat kesunyian semakin terasa bagi Jeno. Netra gelapnya menatap lamat-lamat pada wajah pucat Renjun, menyadari jika wajah itu semakin tirus dengan pipi yang biasanya memiliki sedikit lemak, bahkan telah menampilkan tulangnya.

Dan disaat jam tengah malam telah berdentang, Jeno lantas menutup kedua matanya. Mencium dalam-dalam punggung tangan Renjun dan memanjatkan doa dengan setetes air mata yang berhasil lolos.

Tidak ada yang mengetahui dengan pasti bagaimana pergerakan waktu bekerja. Bisa terasa sangat lambat bagi siapa saja yang merasa jenuh, dan bisa terasa sangat cepat bagi siapa saja yang menikmatinya. Rotasi hidup manusia juga tidak ada yang bisa menduga. Di tangan Tuhan, semuanya bisa saja terjadi.

.

.

.

.

.

"Sudah cukup lama ya," Ryujin tersenyum menatap pada pemuda tampan dihadapannya.

Musik café terdengar mengalun lembut, menjadi latar belakang yang menemani keduanya saat ini. Gadis itu lalu meraih sesuatu didalam tasnya untuk ia berikan pada Jeno. Sebuah kertas tebal bewarna putih gading dengan hiasan dan tulisan berwarna gold yang mengelilingi.

Jeno mengernyit. Menerima benda itu dan menatap pada Ryujin yang semakin melebarkan senyum cantiknya.

"Aku tidak akan berharap banyak. Tapi jika kau bersedia datang ke pernikahanku, aku pasti akan sangat senang."

Undangan pernikahan. Jeno meneliti benda itu dan membaca isi yang tertera didalamnya. "Hwang Hyunjin? Sepertinya kau tidak trauma dengan lelaki Korea."

Ryujin tertawa. Melihat bagaimana Jeno mengatakannya dengan santai sembari menyeruput espressonya membuat gelakan gadis itu semakin kencang. Percaya tak percaya, baru kali ini ia mendengar Jeno mengatakan hal guyon seperti ini. "Kau ternyata lucu juga" Ryujin menghela nafas guna menghentikan tawanya.

(✔) FOR HIM; ╰Noren╮Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang