Sleep Tight

86 13 0
                                    

"Setelah 10 hari ga ketemu, sekarang menurun jadi satu minggu ga ketemu. Semoga mulai hari ini kita bisa berjumpa setiap hari," kata dr. Aldrich sambil tersenyum ke arah Rinz.

Rinz hanya menoleh sebentar lalu menguap. Dia tampak kelelahan dan mengantuk.

"Kamu harus bermalam di rumahku lagi, Rinz. Itu hukumanmu karena mengabaikanku seminggu ini," kata dr. Aldrich lagi sambil menjulurkan tangannya menggenggam tangan Rinz.

Rinz mengangguk, dr. Aldrich tersenyum.

"Bekerja dengan Tim UPR sangat melelahkan, ya?" tanya dr. Aldrich yang melihat Rinz tampak lesu.

"Ehm. Mereka menjengkelkan sekali. Main suruh sana sini dan bekerja seperti orang gila. Tidak salah mereka dijuluki sapi gila. Tapi yang paling membuatku kesal, semua hasil kerja tim kami diminta begitu saja. Ah! Menjengkelkan!" jawab Rinz. Dia tidak menyadari telah bercerita lagi pada dr. Aldrich.

"Bagaimana Detektif Nick? Dia masih terus mengejarmu?" selidik dr. Aldrich.

"Ehm. Aku sudah menolaknya berkali-kali. Dia tetap maksa. Aku jengkel. Mau kupukul, aku ga enak sama Kapten Oh. Takut beliau yang kena sanksi dari UPR," curhat Rinz.

Lagi-lagi dr. Aldrich tersenyum. Digenggamnya tangan Rinz dengan erat.
Dia lalu mengelus kepala Rinz sambil tersenyum.

"Baguslah Kamu tidak mengamuk," selorohnya kemudian menggoda Rinz.

Rinz melirik kesal pada dr. Aldrich. Iya, dia tumben tidak mengamuk.

Melihat Rinz yang tampak geram, dr. Aldrich ingin meredakannya. Dia menggeser duduknya agar lebih dekat dengan Rinz. Ditariknya kepala Rinz ke bahunya.

"Istirahatlah!" ucapnya.

Ucapan dr. Aldrich membuat Rinz merasa lebih baik. Satu minggu ini dia kelelahan. Dia selalu bekerja. Sekarang seseorang memintanya beristirahat. Hal itu menenangkan emosinya yang siap meledak setiap saat.

Malam ini Rinz menyadari satu hal, dia telah nyaman bersama dr. Aldrich. Iya, dia telah merasa nyaman. Dia tidak lagi menolak disentuh dokter yang pernah dipukulnya itu.

"Makan dulu yuk! Atau mau makan di rumah?" tanya dr. Aldrich.

Rinz tidak menyahut. Dia sudah terlelap. dr. Aldrich mengangkat kepala Rinz dan meletakkannya di pahanya.

Di balik kemudi, Pak Padri senyum-senyum melihat pemandangan itu dari kaca spion. Pak Padri adalah bodyguard rekomendasi Kapten Oh. Beliau dulunya juga seorang polisi. Namun karena difitnah telah melakukan kejahatan, akhirnya masuk bui dan dipecat. Beliau juga sahabat Detektif Zoe. Usianya pun sama seperti Detektif Zoe.

Tetiba ponsel Pak Padri yang diletakkan di dashboard mobil bergetar.

"Malam, Kapten Oh," sapanya pada seseorang di balik telpon.

"Aman dan terkendali, Kapten," ucapnya kemudian.

"Baik, Kapten," ucapnya lagi.

Klik!
Pak Padri menutup telponnya sambil tersenyum.

"Dari Kapten Oh, Pak?" tanya dr. Aldrich.

"Benar, Dok. Beliau khawatir Detektif Rinz akan memarahi Anda lagi," jelas Pak Padri.

dr. Aldrich tertawa mendengar penjelasan itu. Temperamen Rinz memang parah sekali. Bahkan atasannya sampai mengkhawatirkannya.
*****

Sampai di rumah, dr. Aldrich membangunkan Rinz. Dengan mata sipit Rinz bangun lalu lari masuk ke dalam rumah. Di belakangnya dr. Aldrich hanya bisa geleng-geleng kepala.

Rinz naik ke lantai dua. Dia langsung masuk kamar. Setelah mandi dan berganti pakaian, Rinz merebahkan diri di ranjang yang luas dan empuk itu. Dia tidak menggubris dr. Aldrich yang menunggunya.

"Aku mengantuk sekali, Dok," kata Rinz.

dr. Aldrich mengangguk dan tersenyum, "Tidurlah!"

Rinz terlelap seketika. Dia benar-benar seperti orang mati jika sudah tidur.

dr. Aldrich tersenyum saja melihat tingkah Rinz yang absurd itu. Dia bersyukur, Rinz telah nyaman bersamanya.

"Bagaimana seorang detektif bisa tidur sepertimu, Rinz?" tanya dr. Aldrich sambil mengelus kepala Rinz.

Rinz tertidur pulas. Benar-benar pulas.
*****

Pukul 01.10, Rinz terbangun. Dia melihat ke sekeliling kamar. Dia sadar tidak tidur di rumah maupun di kantor. Dia tidur di rumah dr. Aldrich. Rinz membalikkan tubuhnya ke kanan. Di sebelahnya dr. Aldrich tampak lelap.

Rinz menatap dr. Aldrich.
"Dia bahkan terlihat tampan saat sedang tidur," gumam Rinz.

Rinz masih menatap wajah dr. Aldrich yang bersih. Bekas lukanya telah hilang. Wajahnya persis model iklan sabun muka di televisi. Rinz bahkan malu jika membandingkan wajahnya dengan dr. Aldrich yang selalu terlihat segar itu.

"Apa Kamu juga tetap tampan meskipun sedang kentut, Dok?" gumamnya lagi.

Rinz tersenyum sendiri dengan pertanyaannya yang aneh itu. dr. Aldrich sebenarnya telah terjaga ketika Rinz membalikkan badan. Dia mendengar semua gumaman Rinz. Dia menahan diri untuk tidak tertawa. Dia menunggu apa yang akan dilakukan Rinz selanjutnya.

Tiba-tiba Rinz menjulurkan tangannya. Disingkirkannya rambut dr. Aldrich yang berjatuhan di mata dan dahi. Entah mengapa dia merasa iba pada dr. Aldrich. Dia juga yatim piyatu sepertinya. Rinz bahkan telah mengambil ayahnya. Dia juga telah berbuat kejam padanya. Rinz ingat pernah memukulnya. Rinz bahkan pernah memiting dan menindihnya di ruang interogasi. Rinz sadar dia telah memperlakukan dr. Aldrich seperti seorang penjahat selama ini.

Rinz teringat cerita Detektif Dan tentang curhatan dr. Aldrich ketika masih muda. Katanya Detektif Zoe selalu menceritakan Rinz kemana-mana pada siapa saja. Detektif Zoe tidak pernah bercerita tentang dr. Aldrich. Bahkan Detektif Zoe menutupi kenyataan jika dr. Aldrich adalah putranya.

"Maafkan aku mengambil ayahmu, Dokter," ucap Rinz sendu. Dibelainya kepala dr. Aldrich. Matanya berkaca-kaca.

Mata dr. Aldrich terbuka pelan. Dia menatap Rinz dengan lembut.

"Boleh kupeluk?" tanya dr. Aldrich.

Rinz mengangguk. Dia menggeser tidurnya dan bersembunyi di pelukan dr. Aldrich. Ya, kali ini Rinz-lah yang menghampiri dr. Aldrich.

Tiba-tiba Rinz melepaskan pelukannya, "Kamu tidak pakai rompi anti peluru lagi?"
tanyanya menyadari dr. Aldrich tidak memakai rompi untuk teraphy tulang rusuknya yang retak.

"Tidak nyaman dipakai tidur," jawab dr. Aldrich.

Dia tertawa kecil mendengar Rinz memberi sebutan rompi teraphynya sebagai rompi anti peluru. Aaah Rinz, bahkan saat sedang melucu dan membuat orang tertawa pun, dia sama sekali tidak tertawa.

"Tidak sakitkah memelukku seperti tadi?" tanya Rinz lagi.

"Aku akan bilang kalau sakit," sahut dr. Aldrich sambil tersenyum.

"Tidurlah!" lanjutnya sambil menarik Rinz lagi ke dalam pelukannya. Rinz tak menolak.

"Rinz," bisik dr. Aldrich lirih.

"Ehm," sahut Rinz.

"Belum ada riset yang membuktikan kentut bisa mengurangi ketampanan seseorang. Aku juga tetap tampan ketika kentut," seloroh dr. Aldrich kemudian.

Rinz mendongakkan kepalanya. Dia tertawa. Iya, Rinz tertawa. Dia sadar jika pertanyaannya tadi sangat lucu. Penjelasan dr. Aldrich lebih lucu lagi.

"Kamu dengar semuanya?" tanya Rinz sambil terus tertawa.

"Ehm, Kamu lucu sekali. Perutku sampai sakit menahan tawa," jawab dr. Aldrich.

Rinz tertawa lagi. dr. Aldrich bahagia bisa membuat Rinz tertawa. Rinz masuk ke pelukan dr. Aldrich kembali. Dilingkarkannya tangannya di pinggang dr. Aldrich. Rinz tertidur lagi. dr. Aldrich pun begitu.

Malam itu, kedua anak Detektif Zoe terlelap. Misi terakhirnya menyatukan Rinz dan dr. Aldrich telah berhasil. Di alam sana, Detektif Zoe juga telah terlelap penuh damai. Sama seperti kedua buah hatinya.

My Psycopath DoctorTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang