Rumah dr. Huda tipe rumah ilmuwan di mana pajangan utamanya adalah buku-buku yang ditata rapi di rak-rak hampir di setiap ruangan. Jendela-jendela besar itu saja pemisah antara rak-rak buku yang juga besar. Hampir setinggi dinding tembok. Rumah bergaya victoria itu layak dijadikan museum pustaka.
Tak ada siapapun di rumah itu kecuali dr. Huda, pembantu, dan sopir pribadinya. Istrinya seorang sosialita paruh baya yang masih cantik dan trendy. Dia sedang menemani anak-anaknya yang study ke luar negeri. Ya, jika melihat kegemarannya berbelanja dan travelling, menemani anak-anak study lebih layak dianggap sebagai kedok penyamar hobbynya.
Pembantu dan sopir pribadi yang menemukannya masih sangat terguncang. Barang-barang belanjaan berserakan di depan pintu masuk dapur. Mereka memilih menepi di pojok ruang tengah. Tangan mereka masih menggenggam telepon dan ponsel dengan gemetaran. Wajah mereka ketakutan, panik, dan gelisah. Mereka tidak menduga akan mendapati pemandangan mengerikan sore ini di ruang makan majikannya yang baru saja ditinggal 2 jam untuk berbelanja. Ya, mereka berdua yang notabene adalah suami istri, baru saja kembali dari berbelanja kebutuhan bulanan untuk rumah dr. Huda.
Di ruang makan, mayat dr. Huda ditemukan dalam kondisi sangat mengenaskan. Jasadnya terbujur kaku di meja makannya. Jasad itu tanpa kulit, kecuali di bagian kepala dan wajahnya. Jika dikuliti total, dia pasti akan sulit dikenali. Tangan dan kakinya dipotong rapi, potongannya masih teronggok di samping badan.
Terlihat daging merah dengan otot terburai. Warna putih dari tulang yang terpotong terlihat jelas di antara warna darah itu. Darah menggenang di sekujur badan, menggumpal di sela-sela bagian tubuh yang terpotong, dan masih mengucur pelan dari lubang di leher. Meja marmer putih itu berakumulasi dengan warna merah yang menyilaukan terpantul cahaya lampu di atasnya. Darah menetes ke lantai dari meja makan itu, merembes pada karpet di bawahnya.
Rinz dan rekan-rekannya mendekati jasad itu dengan bergidik. Bau anyir menyeruak masuk ke hidung dan membuat mual. Rinz dan rekan-rekannya mengambil foto dari berbagai sudut dengan detail. Detektif J mendokumentasikannya dalam bentuk video. Mereka terkesiap menyaksikan pemandangan di hadapan mereka. Pemandangan yang tak layak disajikan di manapun juga.
"Lehernya berlubang cukup dalam," seru dr. Hisyam.
Dia mengeluarkan alat panjang dari kotak perlengkapannya, memasukkan alat itu ke dalam lubang, lalu mengukurnya.
"20,1 cm," serunya lagi.
"Pelaku yang sama," sahut Kapten Oh.
"Potongannya sangat rapi. Sayatannya juga," ucap Rinz.
"Anda benar, Detektif. Pasti seorang profesional yang melakukannya," sahut dr. Hisyam.
"Tangan dan kakinya dipotong dengan gergaji mesin," celetuk dr. Aldrich yang berdiri di pintu dapur.
dr. Aldrich bukan penyidik maupun tim BFN, jadi dia tidak boleh masuk ke TKP utama. Meskipun begitu, nalurinya sebagai dokter berlisensi bedah ganda bisa mengetahui dengan tepat bagaimana jasad itu terkoyak dan terberai dengan sadis. Dia menurunkan kacamatanya, seolah ingin memperjelas pengelihatannya.
"Anda benar, dr. Aldrich. Potongan tulangnya sangat rapi dan dipotong dalam waktu singkat tanpa jeda," jelas dr. Hisyam.
"Apakah alat pemotongnya sudah ditemukan, Dok?" tanya Kapten Ri pada dr. Yoga.
"Belum, Kapten," sahut dr. Yoga.
Di antara para korban pembunuhan berantai tusuk es, kondisi jasad dr. Huda adalah yang paling mengerikan. Barbar sekali pembunuhnya.
"Biadab! Pelakunya bukan manusia, tapi iblis!" maki Kapten Ri.
Baru sekali ini mereka mendengar Kapten Ri memaki. Mereka hanya menoleh mencari asal suara lalu mengangguk berjamaah. Entah mengangguk karena setuju atau karena bingung. Ekspresi para detektif itu lebih tepat disebut bingung.
KAMU SEDANG MEMBACA
My Psycopath Doctor
Mystery / ThrillerRinz seorang kreator webtoon yang tidak pernah peduli dengan pekerjaan ayahnya, seorang polisi di Kota Metropolis. Ayahnya, Detektif Zoe sudah hampir 6 tahun mengejar pembunuh berantai yang membunuh korbannya dengan keji. Suatu hari, Detektif Zoe di...