Jebakan Batman

95 12 2
                                    

Pria itu membuka seluruh pakaiannya dan pakaian dr. Aldrich. Dia lalu masuk kamar mandi dan membersihkan diri. Dibalurkannya sabun mandi buatan dr. Aldrich ke seluruh tubuhnya berkali-kali. Dia berkumur berulang-ulang. Meskipun telah memutihkan giginya, bau rokok masih melekat pekat. Dia memotong kuku dan membersihkannya dengan seksama. Dari ujung rambut sampai kuku, dibuatnya dirinya semirip mungkin dengan dr. Aldrich. Sayang, otot keduanya berbeda. Kenyataan bahwa tubuhnya lebih kekar tidak bisa dipungkiri.

Setelah selesai membersihkan diri dia keluar dari kamar mandi dan mengenakan semua pakaian dr. Aldrich. Dari pakaian luar dan pakaian dalam, tak sehelai pun yang dikenakannya adalah miliknya sendiri. Dia menatap wajah dan tubuhnya di cermin. Rambutnya diikat dan dia memakai kacamatanya. Meskipun mengenakan frame LV warna hitam tipis yang sama, lensa kacamatanya jelas berbeda. Yeah, dia menderita astigmatisme. Untuk menutupi kelemahannya, dia memakai kacamata berlensa silinder. Berbeda dengan dr. Aldrich yang minus.

Selesai mematut diri dengan penampilan yang biasa dimiliki dr. Aldrich, dikenakannya jas dokter warna putih yang tergantung di lemari. Dia tersenyum penuh kemenangan menatap pantulan dirinya di cermin mengenakan jas bernama dr. Stanley Aldrich. Yeah, pria itu adalah Alfred, Stanley Alfred, alias Aldrich Zain, alias Robert Irwin. Dia adalah kembaran dr. Aldrich yang rencananya dijebak dengan penyamaran Rinz. Sayang, prediksi para detektif itu gagal total. Alfred tidak mengunjungi Rinz lagi, dia malah mengunjungi dr. Aldrich dan mengambil tempatnya begitu saja.

Alfred menoleh ke kanan kiri, dia harus menyingkirkan dr. Aldrich ke suatu tempat untuk mengamankan posisinya. Membunuhnya sekarang akan memberinya kerepotan. Ibarat pepatah, dr. Aldrich disembunyikannya terlebih dahulu, dibunuh kemudian. Diseretnya tubuh dr. Aldrich masuk ke kamar mandi dengan kasar.

Brak!
Kepala dr. Aldrich terbentur pintu.
Darah mengucur dari dahi kanannya. Alfred menyeringai saja. Andaikan waktunya lebih banyak, ingin dibenturkannya kepala itu berkali-kali sampai hancur.

Alfred tak mau membuang waktu. Dirapikannya semua yang tadi berantakan. Dia juga memasukkan semua barangnya ke loker, lalu mengunci pintu ruang ganti dari luar.

Klek!
Klek!
Bunyi pintu dikunci dua kali.

Alfred mematut diri lagi di depan cermin. Dipakainya jas dokter milik dr. Aldrich. Dia tersenyum penuh kemenangan membaca nama di dada kirinya "dr. Stanley Aldrich". Dia tersenyum puas seperti berhasil meraih sesuatu yang diimpikannya sejak kecil.
*****

Pasien pertama pagi itu mendapati dokter idolanya banyak tersenyum. Dia bahkan menanyakan hal-hal tidak penting. Dia terlihat berbeda.

Perawat yang membantunya juga merasakan hal yang sama. Dia merasa dr. Aldrich begitu ramah pagi ini. Sambil melakukan perawatan pada pasiennya, sesekali diliriknya dokter tampan bosnya itu.

"Aku bisa merawat kulitku di sini setiap hari biar bisa melihatnya. Aaah, dia terlihat begitu mempesona," cerita pasiennya ketika keluar dari ruang perawatan.

Perawat yang mendampinginya tersenyum saja. Dia pun merasakan hal yang sama. Terlebih bosnya itu terlihat lebih menawan hari ini. 3 kancing kemejanya dibuka, seolah ingin menunjukkan otot-ototnya yang kekar. Para wanita itu hanya mengulum ludah.

"Beruntung sekali Detektif Rinz memiliki suami dr. Aldrich," ucap salah seorang di antaranya.

"Benar, padahal dia biasa saja. Bagaimana perempuan biasa bisa membuat pria setampan itu jatuh cinta padanya," sahut yang lain.

"Detektif Rinz pernah datang untuk berobat alerginya, dia pingsan saat itu. Pak dokter membopongnya sendiri dan membawanya ke rumah sakit," cerita salah satu resepsionis.

"Wow! Aku pikir cerita itu bohongan," sahut salah satu pasien yang mengantri.

"Detektif Rinz benar-benar beruntung. Dia membuatku sangat iri," sahut salah satu pasien yang tampak seumuran dengan Rinz.

My Psycopath DoctorTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang