Bagi Rama, Raka -abangnya- adalah pahlawan. lebih keren daripada Superman atau Batman.
Bagi Raka, Rama tetaplah adik kecil yang meskipun ngaku-ngaku sudah dewasa, dia akan tetap ngambek kalau Raka telat pulang kerja.
Ini baru jam 5 pagi. Raka yakin itu. Tapi suara alarm dari kamar adiknya benar-benar mengganggu tidurnya. Lagipula tumben sekali adiknya itu memasang alarm. Biasanya juga Rama akan menunggu sampai hampir disiram air dingin olehnya baru deh mau bangun.
Raka beranjak bangun. Dia berdecak melihat telepon genggam Rama yang daritadi berdering di samping telinga adiknya itu, tapi Rama sama sekali tidak terusik. Padahal Raka yang dari kamar sebelah saja sangat terganggu.
"Dek! Kamu tidur apa pingsan, sih?" Raka menggoncang tubuh Rama. Belum ada respon dari anak itu. Astaga, bisa darah tinggi gue lama-lama.
"Dek!" Rama menggeliat. Raka kesal melihatnya. "Cubit aja, deh!" Ia akhirnya menggunakan jurus pamungkas. Mencubit nipple Rama selalu berhasil membuat adiknya itu bangun. Rama langsung terduduk meskipun matanya masih setengah terpejam. Meringis memegang kedua nipple-nya yang dicubit si abang.
"Kamu, tuh! Ngapain nyalain alarm jam segini? Kuliah jam berapa emangnya?" Mata Rama langsung membulat. Ia menepuk jidat lalu segera berlari ke kamar mandi.
"Aku ada acara UKM, bang. Mampus, telat nih aku!" Teriaknya dari kamar mandi. Raka menggeleng heran. Adiknya itu sudah kuliah, sudah jadi senior malah, semester depan sudah harus ambil skripsi, tapi kenapa kelakuannya masih kayak anak SMP, sih?!
"Nanti abang anterin aja ke kampus, abang tunggu di bawah, cepetan siap-siapnya"
"Iyaa!"
***
"Abang jangan mulai sesi siraman rohani sekarang, dong" Rama berdecak malas di kursi sebelah kemudi menanggapi abangnya yang mengomel sepanjang perjalanan hanya karena masalah alarm. Kumat, nih, lebaynya abang.
"Abisnya kamu, sih. Kamu tuh kapan, sih, bisa bersikap dewasa? Kamu udah besar, loh, Ram" Rama memutar bola matanya. Memangnya apa yang salah, sih? Tadi malam Rama masih mengerjakan proposal penelitian. Itu juga untuk nanti mengajukan judul skripsi. Jadilah ia baru tidur tengah malam. Wajar, kan, kalau jam 5 pagi susah bangun?
Mobil Raka berhenti di depan gedung Fakultas Seni Rupa dan Design. Rama segera melepas sabuk pengaman lalu bergegas membuka pintu mobil.
"Terserah abang, deh. Lain kali kalau nggak ikhlas, abang nggak perlu nganterin Rama, kok." Ucapnya sebelum menutup pintu mobil dan pergi begitu saja. Raka menghela napas panjang. Apa dia salah bicara?
***
Rama berjalan memasuki pelataran gedungnya. Meninggalkan abangnya begitu saja seperti tadi sebenarnya sangat mengganggu pikirannya. Tapi memang seharusnya abangnya itu mau mencoba mengerti, kan? Bukannya malah mengomel terus sepanjang jalan seperti tadi. Bertanya tentang apa yang dilakukannya juga tidak. Gue, kan, jadi merasa terpojok.
"Kenapa tuh muka?" Itu suara Dion. Teman satu jurusan Rama. Dion berdiri tepat di depan pintu masuk gedung. Sengaja menunggu Rama yang baru datang.
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
"Biasa, lah. Bang Raka ngeselin" jawab Rama.
"Elah, ngeselin juga dia yang paling sayang sama lo." Dion merangkul pundak Rama lalu melangkah memasuki gedung fakultas.
"Ya, iya, sih" Rama berjalan sambil menunduk. Apa dia sudah keterlaluan ya?
***
Setelah mengantar Rama, Raka kembali ke rumah. Hari ini dia tidak ke kantor. Ia mengajukan cuti satu hari. Lelah. Beberapa hari ke belakang sedang banyak masalah di kantor. Ia jadi sensitif belakangan ini. Ah, Raka jadi merasa bersalah ke Rama. Padahal, adiknya itu tidak salah sebenarnya.
Merebahkan diri di kasur empuknya, Raka mencoba tidur lagi setelah melepas jaket dan mengganti celana. Biasanya, dia tidak pernah seperti ini. Jam segini, biasanya Raka sudah rapi dan bersiap ke kantor. Sekali ini saja, Raka ingin istirahat. Tidur seharian sepertinya menyenangkan. Dia juga tidak nafsu makan. Hatinya terasa berat hari ini.
Baru saja ingin memejamkan mata, telepon genggamnya berdering. Raka mengambil ponselnya. Melihat siapa yang menelepon, ia meletakkan benda pipih itu lagi. Itu pak Ardi, bosnya. Bukannya Raka tidak sopan, hanya saja, ia belum siap menghadapi apapun yang akan dikatakan bosnya itu. Sekalipun ini bukan kesalahan Raka, tetap saja, kali ini, ia hanya ingin menghindar.
Telponnya sudah tidak berdering lagi. Selanjutnya, sebuah pesan singkat masuk. Itu dari Yudha. Sahabat sekaligus atasannya di kantor.
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
From : Yudha Ka, masalah di sini udah selesai. Gue udah jelasin semuanya ke pak Ardi. Lo santai aja. Istirahat dulu gapapa. Besok ke kantor ya.
Raka mengernyit heran. Beneran udah selesai? Perasaan, permasalahan kemarin hampir nggak ada titik temu. Raka ada di tim R&D di Dirgantara Corp. Yudha adalah kepala tim R&D, pak Ardi adalah ayahnya. Dulu, ia dan Yudha adalah teman satu kampus. Raka bisa bekerja di sana memang karena rekomendasi dari Yudha. Ya, selain karena Raka pintarnya luar biasa, sih.
Raka lalu meletakkan teleponnya. Biar saja pesan Yudha tidak dibalas dulu. Nanti saja kalau penatnya sudah hilang.