"Oh, Rama kira abang menang lotre dua kali." Raka merotasikan kedua bola matanya saat Rama menanggapi ceritanya tentang kepulangan Mama dan Papa dengan candaan lotre. Kalau saja ia tidak sedang serius memainkan game-nya, Raka pasti sudah menjitak kepala Rama supaya letak otak adiknya itu kembali ke tempatnya.
Menepati ajakan Rama untuk bermain, di sinilah mereka berdua sekarang. Asyik memainkan PS di depan ranjang di kamar Rama.
"Ayo, bang! Itu musuhnya di sana!" Raka berusaha fokus pada arah yang ditunjuk Rama. Ia tidak ingin kalah.
"Sebelah sana, Dek! Cepetan!" Teriaknya lalu. Rama dengan cekatan menghabisi musuh-musuh di areanya. Dia sangat fokus sampai tidak sadar kalau pemain yang digunakan Raka tidak bergerak sama sekali.
"Bang, Rama mau cerita."
"...sebenernya, sebelum abang cerita semua masalah abang di kantor, Rama udah tahu semuanya duluan bang." Rama meletakkan stik PS-nya. Ia lalu menoleh menghadap Raka, kemudian berdecak sebal karena ternyata abangnya itu sudah tertidur.
"Yaelah, malah tidur." Bangunkan tidak, ya?
Ah, tapi Rama tidak tega. Abangnya itu baru saja pulang dari rumah sakit kemarin, sebenarnya dokter Raffi berpesan untuk istirahat di rumah dulu, tapi Raka mana mau. Hari ini, Raka sudah masuk kerja, pasti abangnya sangat lelah sekarang.
Tidurnya juga lelap banget.
Rama akhirnya membereskan PS-nya lalu memindahkan tubuh Raka ke atas ranjangnya. Ia lalu mematikan lampu dan tidur di sebelah Raka.
"Maafin Rama, bang." Ucapnya lirih sebelum memejamkan mata dan menjelajah ke dunia mimpi.
Sedetik kemudian, mata Rama terbuka lagi. Ia jadi terpikir tentang kabar orang tuanya. Entahlah, Rama sendiri bingung harus bersikap bagaimana. Apa dia harus senang? Orang tuanya tidak jadi bercerai, seharusnya dia senang, kan? Mereka bahkan akan pulang. Apa alasan hati Rama justru gelisah?
Rama sendiri juga tidak mengerti. Karna itulah ia hanya bisa merespon abangnya dengan candaan aneh. Ia tidak ingin merusak suasana hati Raka yang begitu gembira. Memang, selama ini Raka lebih dekat dengan orang tua mereka dibanding Rama. Rama belum pernah benar-benar merasakan kasih sayang orang tuanya, namun entah mengapa, dia sendiri tidak ingin.
Rama tidur menyamping, menghadap pada wajah abangnya. Selama hidupnya, Rama hanya bergantung pada Raka.
***
"Lo belum cerita ke bang Raka tentang misi kita kemarin?" Rama hanya menjawab pertanyaan Deva dengan gelengan. Deva menatapnya tak percaya. Wah, bisa-bisanya Rama ini! Deva sangat kesal melihat Rama begitu santai makan siomay terenak seantero kantin kampus sedangkan ada masalah penting di sini yang perlu dibahas.
"Kenapa belum cerita?" Kali ini giliran Dion yang bertanya. Dion sebenarnya tidak membentak, hanya saja nada suara rendahnya justru membuat Rama ngeri. Ia lalu meletakkan sendoknya, mengelap mulut dengan tisu kemudian mengambil ancang-ancang untuk berbicara.
"Lo nggak tau harus mulai dari mana?" Nah, itu Dion paham! Rama mengangguk beberapa kali.
"Sebenernya gue udah mau cerita kemaren, tapi bang Raka udah ketiduran duluan." Jelasnya.
"Lo harus cerita ke bang Raka secepatnya. Biar gue juga bisa berhenti ngeretas hp abang lo." Desak Deva.
"Gue harus cari momen yang tepat dulu Dev, Yon. Masalahnya kalau bang Raka marah, trus akhirnya masalah ini jadi beban pikiran, kondisinya bisa drop lagi. Kalian berdua ngerti, kan?" Dion dan Deva terdiam. Benar juga, sih. Mereka harus pelan-pelan. Situasinya tidak semudah itu.
"Gue harap semuanya akan baik-baik aja."
***
Raka melangkahkan kakinya ke ruangan pak Ardi bersama dengan Yudha dan Andra. Mereka akan membahas tentang pengunduran diri Andra. Sebenarnya, Andra sudah bulat ingin mengundurkan diri dari Dirgantara. Selain karena permasalahan sebelumnya, ia juga ingin memulai membangun usahanya sendiri. Hanya saja, Raka dan Yudha terus-terusan membujuknya.
"Akhirnya kalian bertiga ke sini juga. Jadi, gimana? Udah selesai?" Yudha mengangguk.
"Sudah, Pak. Ini murni kesalahan saya pribadi. Tidak seharusnya saya menyalahgunakan posisi saya di kantor hanya karena masalah pribadi. Saya mohon maaf, saya akan bertanggung jawab." Jawabnya tegas.
"Apa bentuk pertanggungjawaban kamu?" Yudha terdiam sejenak. Sebenarnya ini berat, tapi mau tidak mau, ini adalah konsekuensi dari perbuatannya. Ia lalu menarik napas panjang.
"Saya akan mundur dari jabatan saya sebagai kepala tim R&D" lirihnya. Raka dan Andra membulatkan bola mata. Hal yang baru saja dikatakan Yudha tadi tidak pernah Yudha singgung sebelumnya.
"Baik. Kalau begitu, mulai saat ini, Raka yang akan menggantikan kamu. Bagaimana?" Yudha terdiam. Ia lalu mengangguk menerima keputusan ayahnya dan memaksakan sebuah senyuman.
"Sebagai gantinya, tolong tolak pengunduran diri Andra, pak. Dia tidak bersalah"
"Oke."
Raka dan Andra tersentak mendengar keputusan sepihak anak dan ayah itu.
"Maaf, Pak. Tapi saya nggak bisa gantiin posisi Yudha." Ucap Raka. Ia lalu menatap lurus ke arah Yudha dan pak Ardi secara bergantian.
"Kalian berdua sama-sama tahu, kondisi fisik saya tidak memungkinkan untuk menanggung beban dari jabatan tersebut."
"...saya juga selama ini hanya membantu menyumbangkan ide, pak. Semua keputusan pengembangan ada di tangan Yudha. Saya rasa bapak akan menyesal kehilangan kepala tim sebaik Yudha."
"Saya juga sudah bulat dengan keputusan saya untuk mundur, pak." Itu suara Andra. Sejak tadi ia hanya memperhatikan. Hanya saja, ia sama terkejutnya dengan Raka saat Yudha dengan sepihak memutuskan untuk menghukum dirinya sendiri. Ini benar-benar tidak sesuai dengan rencana mereka kemarin.
Pak Ardi tersenyum simpul.
"Baik, saya serahkan keputusan pengunduran diri ke kamu sendiri Andra. Kalau kamu memang memutuskan untuk mundur, saya akan menerimanya." Andra mengangguk setuju, sedang Yudha dan Raka memandangnya sebal. Apa-apaan Andra ini.
"Raka dan Andra, kalian berdua boleh keluar. Yudha, kamu tetap di sini."
"Baik pak, permisi." Raka dan Andra lalu membungkuk sopan dan melangkah keluar dari ruangan pak Ardi.
Yudha menghela napas, lalu menatap sang ayah.
"Yudha mohon, Yah. Pertahanin Andra." Lirihnya.
"Ayah nggak bisa maksa, Yud. Kamu tau itu." Yudha menunduk sedih.
"Ayah bangga sama kamu." Apa? Apa katanya? Apa Yudha salah dengar? Yudha mengangkat kepala dan menatap ayahnya.
"Awalnya Ayah sangat kecewa, tapi hari ini, Ayah bangga sama kamu. Kalau kamu berbuat kesalahan, kamu harus berani bertanggung jawab. Kamu paham?" Hati Yudha menghangat. Ayahnya tidak pernah seperti ini sebelumnya. Tapi hari ini, ayahnya memandangnya? Ia tidak bisa menahan diri untuk tidak tersenyum.
"Yudha minta maaf, hal seperti ini nggak akan terulang lagi, Yah."
"Ayah pegang kata-kata kamu." Yudha mengangguk paham. Ia lalu pamit undur diri. Ia harus segera menemui Andra dan Raka. Ia benar-benar harus menceritakan hal langka yang terjadi sekali seumur hidup seperti ini. Harus! Ah, hatinya benar-benar terasa ringan sekarang.
.
.
.
.
.
.
.
TBC.Semoga suka sama part ini ya ^^
![](https://img.wattpad.com/cover/224961276-288-k788553.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Raka & Rama [Jinkook Local Version]
FanfictionBagi Rama, Raka -abangnya- adalah pahlawan. lebih keren daripada Superman atau Batman. Bagi Raka, Rama tetaplah adik kecil yang meskipun ngaku-ngaku sudah dewasa, dia akan tetap ngambek kalau Raka telat pulang kerja.