Terima kasih atas atensinya, semoga senang saat membaca ^^
Spoiler; di part ini akan mulai ada konflik.
Happy reading 💕
***
Raka termenung sendirian di ruang kerjanya. Ia baru saja dimarahi habis-habisan oleh Pak Ardi. Ia bahkan masih mengingat jelas bagaimana tatapan kecewa atasannya itu padanya. Raka sama sekali tidak mengerti. Isi laporan yang dikerjakannya benar-benar berbeda dengan laporan yang diterima Pak Ardi. Ia yakin betul akan itu. Bosnya yang dikenal humble itu bahkan sampai membentak Raka begitu keras sebab isi laporan yang ngawur.
Laki-laki berparas tampan itu menghela napas panjang lalu menelungkupkan kepala di atas meja kerjanya. Ia butuh ketenangan sejenak sebelum harus membuat ulang laporan yang bermasalah tadi. Kepalanya pening sekarang. Belum lagi dengan hatinya yang terasa berat. Mengecewakan seseorang yang begitu dihormati adalah sebabnya. Harus bagaimana dia membangun kepercayaan Pak Ardi lagi? Lalu setelah ini, bagaimana ia bisa menghadapi Yudha? Ah, mau pecah rasanya kepalanya.
Raka memejamkan matanya sesaat sebelum teleponnya berbunyi. Rama meneleponnya.
"Halo?"
"Halo, Bang? Kok belum pulang?" Suara Rama terdengar khawatir. Raka kemudian melirik jam dinding. Sudah hampir jam 6 sore. Pantas saja Rama mencarinya.
"Ram, abang pulang agak malam ya hari ini. Ada laporan yang harus abang selesaikan. Kamu sendiri dulu ya, atau ajak Dion ke rumah aja. Nginep juga boleh."
"Yaudah, deh. Abang jangan kecapekan ya. Jaga kesehatan" Raka tersenyum. Adiknya ini manis sekali, sih.
"Iya. Abang bisa jaga diri."
Sambungan itu lalu terputus. Mendengar suara Rama ternyata membawa efek bagus untuk mengurangi beban dihatinya. Tahu begitu daritadi saja dia menelepon adik kecilnya itu. Raka tersenyum untuk menyemangati dirinya sendiri. Ia lalu menyalakan komputernya dan mulai mengerjakan laporannya. Setelah ini, ia berjanji akan menyimpan berkasnya di flashdisk pribadinya saja. Menakutkan jika hal seperti ini terjadi lagi.
Baru sebentar mengerjakan, telepon Raka berdering lagi. Rama ngapain, sih?
"Halo, kenapa lagi, Ram?"
"Raka, ini papa." Raka terdiam. Ia lalu menjauhkan telepon dari telinga dan melihat layar teleponnya, memastikan siapa yang menelepon. Ternyata itu benar nomor ayahnya. Tumben.
"Ada apa, Pa?" Hening. Papanya tidak langsung menjawab. Ada jeda sebelum Raka hendak bertanya lagi, namun suara papanya terdengar lagi.
"Sepertinya, papa sudah tidak bisa mempertahankan rumah tangga dengan mamamu." Singkat, tapi suara papanya barusan begitu menohok hati Raka. Ia bahkan tidak tahu harus merespon bagaimana. Astaga, satu masalahnya di sini bahkan belum selesai.
"Kenapa?" Akhirnya hanya pertanyaan bodoh itu yang keluar dari mulutnya. Papanya tidak langsung menjawab. Membuat hati Raka semakin terasa berat. Dia jadi ingin menangis sekarang.
Raka lalu menutup sambungan telepon itu sepihak, tanpa mendengar jawaban dari papanya. Ia akui, ia pengecut. Raka tidak berani menghadapi permasalahan seperti ini. Jika orang tuanya berpisah, lalu bagaimana dengan Rama? Mengapa pula orang tuanya memilih berpisah di usia seperti ini?
Lupakan, Raka. Selesaikan satu dulu.
Ia kemudian memutuskan untuk menyelesaikan semua pekerjaannya dulu supaya bisa berpikir lebih jernih. Ia tahu, merasa sedih saja tidak akan membuat masalahnya selesai dengan sendirinya.
***
"Ram, ini udah mau jam sebelas, loh. Abang lo belum balik?" Dion akhirnya memilih bertanya. Sejak tadi Rama hanya melamun, terlihat begitu gelisah menunggu Raka pulang. Rama tahu ini jam berapa. Daritadi juga dia berusaha menghubungi nomor Raka, namun tidak ada jawaban. Terakhir mereka berkabar itu jam enam sore. Setelah itu abangnya tidak bisa dihubungi.
"Gue ke kantor abang gue aja deh, Yon. Khawatir gue abang kenapa-napa." Putusnya. Dion mengangguk menanggapi.
"Gue temenin, Ram. Pake mobil gue aja." Rama setuju. Mereka lalu bersiap-siap pergi. Baru saja akan membuka pintu rumah, suara mobil Raka terdengar memasuki pekarangan rumah. Rama dan Dion menarik napas lega. Akhirnya, abang pulang juga.
Mereka berdua menunggu di depan pintu rumah, namun Raka tidak kunjung keluar dari mobilnya. Rama jadi bingung. Ia ingin buru-buru menginterogasi Raka sekaligus mengomeli abangnya itu karena sudah membuatnya khawatir. Rama akhirnya memutuskan untuk menjemput Raka ke mobil. Ia mengetuk kaca pengemudi dengan tidak sabaran. Persis seperti polisi lalu-lintas yang akan menilang pengendara yang melanggar peraturan.
"Bang? Kenapa nggak keluar-keluar, sih?"
Ctak!
Kunci pintu mobil terbuka. Rama lalu buru-buru membuka pintu mobil itu dan mendapati abangnya tengah bersandar di kursi mobil yang sudah dimundurkan. Raka terlihat sangat berantakan. Meskipun gelap, Rama dapat melihat wajah Raka yang pias dan berkeringat dingin.
"Abang? Abang kenapa?" Tidak ada sahutan. Hanya helaan napas yang terdengar berat. Rama lalu menarik tangan Raka, tubuh abangnya itu lemas sekali. Rama jadi tidak bisa membayangkan bagaimana abangnya menyetir dari kantor tadi. Lagipula, kenapa Raka tidak minta dijemput saja, sih?!
"Yon! Bantuin gue!" Yang dipanggil langsung menghampiri. Dion membantu Rama memposisikan tubuh Raka agar Rama dapat menggendong Raka dipunggungnya, membawa Raka ke dalam rumah supaya bisa segera beristirahat.
Ini yang tidak Rama sukai kalau Raka telat pulang kerja. Selain itu, akhir-akhir ini abangnya itu seperti memiliki banyak sekali masalah di kantor. Padahal, ini sudah tahun kedua abangnya bekerja. Ini aneh. Rama harus mencari tahu sendiri apa yang sedang terjadi sebab Raka tidak akan pernah melibatkannya sekalipun Rama memaksa. Abang menyebalkannya itu sampai kapanpun akan tetap menganggapnya anak kecil.
Aish, menyebalkan sekali.
TBC.
![](https://img.wattpad.com/cover/224961276-288-k788553.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Raka & Rama [Jinkook Local Version]
FanfictionBagi Rama, Raka -abangnya- adalah pahlawan. lebih keren daripada Superman atau Batman. Bagi Raka, Rama tetaplah adik kecil yang meskipun ngaku-ngaku sudah dewasa, dia akan tetap ngambek kalau Raka telat pulang kerja.