Makanan Kesukaan

1.9K 269 3
                                    

Rama melangkah dengan tidak bertenaga saat memasuki rumahnya. Hari telah berganti, Rama perlu pulang untuk berganti baju dan mengambil beberapa keperluan Raka selama dirawat. Tadi saat akan pulang, dokter Raffi memberitahunya kalau Raka mungkin perlu dirawat tiga sampai empat hari sebab kondisinya belum membaik.

Semalam, abangnya itu terserang demam. Tinggi sekali sampai mengigau. Rama bahkan terbangun karena suara yang dibuat Raka. Padahal Rama sempat senang karena Raka terlihat begitu semangat untuk sembuh.

Rama menghela napas, berusaha menghilangkan sedikit kelelahannya. Ia lalu menaiki tangga menuju kamarnya.

"Loh, Rama? Kamu ke mana aja kok baru pulang?" Langkah Rama terhenti di ujung tangga mendengar suara lembut itu. Rama jelas tahu itu suara ibunya. Suara yang sebenarnya ia rindukan. Namun Rama masih sangat kesal. Ke mana ibunya kemarin waktu Rama menelepon untuk mengabari kondisi Raka?

"Mama masih peduli?" Tanyanya tanpa menatap sang ibu yang berdiri di belakangnya.

"Kamu kok jawabnya gitu, sih?"

Rama menundukkan kepala, berusaha meredam rasa marahnya.

"Abang masuk rumah sakit kemarin. Mama ke mana waktu Rama telepon kemarin?" Akhirnya Rama berbalik dan menatap ibunya. Ia lalu mendapati ekspresi kaget di wajah ibunya. Rama tertawa kecil.

"Rama juga kirim pesan ke mama. Nggak dibaca?" Retoris. Rama jelas tahu mamanya tidak akan membaca pesan yang dia kirim. Rama lelah. Dia butuh istirahat sebentar. Ia lalu melanjutkan langkahnya ke kamar. Tidak mempedulikan ibunya yang berusaha mengejarnya.

"Ram! Dengerin mama dulu! Ponsel mama hilang kemarin!" Ibu Rama bergerak cepat untuk menahan tangan anak bungsunya. Langkah Rama terhenti. Ia berbalik dan menatap ibunya. Mata ibunya sudah berkaca-kaca.

"Raka kenapa?" Suaranya berubah pelan.

Rama menutup wajahnya dengan satu tangan, sekali lagi berusaha menepis amarah dalam hati.

"Kalau mama penasaran, mendingan mama ke rumah sakit aja sekarang." Ucapnya lalu melepas genggaman tangan ibunya dan masuk kamar.

***

Dion dengan telaten mengelap tubuh Raka dengan kompres air hangat. Semalam Rama mengabarinya kalau Raka demam tinggi, alhasil, Dion segera meluncur ke rumah sakit.

Dia sengaja menyuruh Rama pulang dulu, setidaknya untuk mandi dan beristirahat. Kemarin Rama seharian tidak pulang, Dion jadi kasihan. Awalnya anak itu menolak, namun karena dibujuk dengan janji akan memastikan Raka baik-baik saja, akhirnya Rama setuju untuk pulang dan membiarkan Dion menjaga Raka. Untung saja mereka sedang tidak ada kesibukan di kampus.

Raffi memasuki ruang rawat Raka, melihat seorang remaja yang duduk di sebelah ranjang sedang membersihkan tubuh pasiennya, Raffi tersenyum

"Pasien belum bangun?" Dion menoleh lalu tersenyum ramah pada Raffi.

"Belum, dok. Tapi panasnya sudah turun." Raffi menangguk mengerti. Ia lalu seperti biasa mengecek keadaan Raka dan memberikan obat pada cairan infus.

"Usahakan makan pasien teratur, ya. Kondisinya mulai membaik, kok. Jangan sampai banyak pikiran dulu." Ucap Raffi.

"Baik, dok. Terima kasih banyak." Jawab Dion. Dokter muda itu lalu melangkah keluar. Lega rasanya kondisi pasiennya membaik. Juga perasaan lega lain melihat ada anggota keluarga yang telaten menjaga pasiennya.

***

Rama berjalan di lorong rumah sakit menuju kantin. Salahkan Dion yang minta dibelikan macam-macam saat dia sudah sampai di rumah sakit. Namun langkahnya terhenti melihat sosok yang ia kenal dari kejauhan.

Itu kan bang Andra?

Andra duduk dengan gelisah di depan kamar rawat adiknya. Ia tiba-tiba mendapat kabar kalau kondisi adiknya menurun. Andra bingung. Kalau saja ginjalnya cocok, Andra tidak akan berpikir dua kali untuk mendonorkan ginjalnya pada sang adik.

"Bang Andra?" Tebakan Rama ternyata benar. Sosok yang ia lihat dari jauh benar-benar Andra.

Andra menoleh dan mendapati Rama sedang melangkah mendekatinya. Ia tersenyum samar. Masih belum bisa melupakan kegelisahan karena dokter belum keluar dari ruangan adiknya.

"Siapa yang sakit, bang?" Tanya Rama saat ia telah duduk di samping Andra. Rama bisa melihat bagaimana gelisahnya Andra sekarang. Teman abangnya itu meremat tangannya sendiri. Juga kakinya yang tidak bisa diam, terus saja bergerak-gerak gelisah.

"Adik gue, Ram." Andra terlihat hampir menangis, Rama jadi tidak tega. Ia akhirnya hanya mengusap-usap bahu Andra. Berusaha menenangkan. Ia mengerti perasaan Andra, karena Rama juga begitu kalau abangnya sakit.

Tidak lama kemudian, dokter keluar dari ruang rawat Disa, adik Andra. Andra segera berdiri dari duduknya dan menghampiri sang dokter.

"Keadaan pasien sudah stabil sekarang, namun pasien butuh donor segera. Kami akan berusaha mencarikan donor itu untuk pasien, keluarga harap bersabar, ya." Katanya.

Andra hanya menangguk menanggapi. "Saya bisa lihat kondisinya sekarang, dok?" Dokter itu menggeleng.

"Sebaiknya sekarang biarkan pasien istirahat dulu. Dia butuh istirahat total." Andra menangguk pasrah.

"Saya permisi."

"Terima kasih, dok." Itu Rama yang mengatakan. Andra sekarang bersandar di dinding. Tubuhnya terasa lemas sebab merasa frustasi dengan keadaan.

"Kita ke kantin aja yuk, bang? Temenin gue beli makanan." Ajak Rama. Andra hanya diam saja. Rama jadi gemas dan akhirnya menarik Andra paksa. Ia mengerti betapa frustasinya Andra sekarang. Jadi Rama akan menolongnya. Hitung-hitung sambil menjalankan misi.

Andra hanya pasrah mengikuti langkah Rama yang sekarang merangkul pundaknya.

***

"Kamu sudah bangun, nak?" Raka terkejut mendengar suara yang sangat familiar di telinganya begitu membuka mata. Ia lalu memfokuskan pengelihatannya dan mendapati sosok sang ibu yang sedang menatapnya. Itu beneran ibunya? Raka tidak salah lihat? Atau dia memang sebenarnya masih tidur jadi ini cuma mimpinya?

"Kenapa? Kok lihat mama sampai segitunya?" Wanita paruh baya itu lalu mengelus rambut anak sulungnya dengan sayang. Tangannya merasakan sedikit hangat saat bersentuhan dengan kulit Raka.

"Kamu masih demam." Ucapnya sedih.

"Ini beneran mama?" Raka masih tidak percaya. Mamanya pulang? Kapan? Apa Rama sudah bertemu mama? Hati Raka dipenuhi pertanyaan sekarang.

"Iya ini mama, sayang. Maaf ya, mama baru tahu kalau kamu sakit, ponsel mama hilang kemarin." Ibunya berusaha menjelaskan. Raka mengangguk saja. Tidak mengerti harus menanggapi bagaimana. Di satu sisi, Raka sebenarnya senang mamanya di sini, namun di sisi lain, pikiran Raka dipenuhi tentang perceraian orang tuanya.

Ah, memikirkan itu membuat kepala Raka pening sekarang. Matanya memejam. Dahinya berkerut menahan pusing.

Melihat kondisi si sulung, sang ibu lalu mengulurkan tangannya untuk memijat dahi Raka. Tak bisa Raka pungkiri, sentuhan ibunya itu begitu nyaman.

"Kamu belum makan ya?" Sang ibu bertanya melihat nampan makanan rumah sakit di meja Raka masih belum tersentuh. Raka menggeleng pelan. Dia baru saja bangun tidur, jadi belum sempat makan.

"Mama masakin makanan kesukaan kamu. Mau dijadiin lauk tambahan, nggak?" Raka tersenyum dan mengangguk semangat. Ia tentu saja sangat rindu masakan ibunya.

Ia lalu beranjak untuk duduk. Ibunya bangkit dan menyiapkan makanan untuk Raka. Raka hanya menatap wanita yang paling disayanginya itu dengan penuh kerinduan. Namun semakin ditatap, semakin suatu hal dalam pikiran meronta menuntut penjelasan.

"Ma, mama sama papa beneran mau pisah?" Akhirnya pertanyaan itu keluar dari bibir Raka.

TBC.

Maaf ya kalau semakin ke sini semakin ga jelas. 😂😂😂

Raka & Rama [Jinkook Local Version]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang