Deva duduk bersandar di kursi kemudi mobilnya, ia menghela napas berkali-kali sebab tidak bisa membawa Rama pulang malam ini juga karena mediasi baru bisa dilakukan besok, sesuai dengan prosedur. Ia bahkan mengabaikan panggilan dari Dion, karena sejujurnya Deva tidak tahu harus bagaimana menjelaskan masalah ini pada Dion. Sejak tadi ponsel yang ia letakkan di dashboard mobil itu terus-terusan bergetar.
"Argh!!" Pemuda berwajah tampan itu memukul stir kemudi mobilnya, melampiaskan kekesalan. Ia lalu mengambil napas dalam-dalam dan menghembuskannya. Setelah merasa sedikit tenang, dia kemudian mengangkat panggilan ke 12 dari Dion.
"Lo kemana aja, sih?!" Deva menjauhkan ponsel dari telinga begitu mendengar suara teriakan Dion.
"Sorry, Yon." Deva tidak bisa marah pada Dion tentu saja. Maka ia memelankan suaranya, selain karena tidak ingin Dion marah, ia juga sangat lelah sekarang. "Kita perlu ketemu, gue udah tahu di mana Rama."
"Yaudah, seret aja itu anak ke sini." Seperti perkiraanya, Dion pasti sangat marah sekarang. Deva terdiam sejenak sebelum akhirnya menjawab.
"Itu masalahnya, Yon. Rama ditahan.." Ada jeda sejenak sebelum suara Dion terdengar lagi.
"Maksudnya?"
Deva menghela napas, lagi.
"Rama ditahan.. di kantor polisi, Yon."
Hening sesaat.
"Nggak lucu ya, Dev."
"Gue nggak bercanda, Yon. Kita perlu ketemu. Sekarang."
***
Rama memukul-mukul kepalanya pelan, merutuki kebodohannya yang benar-benar luar biasa. Ia bahkan baru bisa mengingat perbuatannya setelah diguyur air oleh petugas. Ia masih duduk berlutut di selnya. Deva sudah pergi. Temannya itu pergi setelah memberi kabar bahwa kakaknya masuk rumah sakit.
Rama rasanya akan gila.
Dia ingat dia memang mengobrak-abrik bar tempatnya bekerja karena Rama benar-benar emosi saat Daniel, bosnya itu datang di tengah pembicaraannya dengan Diandra. Lalu secara tiba-tiba dua orang itu tertawa, menertawakannya. Rama masih diam saja sebelum orang lain masuk ke ruangan itu. Rama tidak mengenal laki-laki itu, benar-benar tidak kenal.
Rama tidak bisa melihat dengan jelas wajah laki-laki itu karena terlalu mabuk, namun dari perawakannya, sepertinya laki-laki itu masih seumuran dengan abangnya.
Laki-laki itu mendekatinya, bahkan menyebut namanya. Lalu tanpa tedeng aling-aling, laki-laki itu mengatakan hal paling menyebalkan sekaligus hal terkonyol yang pernah Rama dengar. Dia bilang, abangnya adalah pembunuh.
Di bawah kontrol emosi dalam keadaan mabuk, Rama memukuli laki-laki itu. Rama ingat dia sempat dipisahkan oleh Daniel, tapi setelah memisahkannya, bosnya itu justru menyalahkan Rama dan ikut-ikutan menghinanya.
"Lo nggak pernah diajari sopan santun sama orang tua lo?"
"Oh, gue lupa, lo cuma hidup sama abang lo yang penyakitan itu, kan?"
Cukup.
Rama tidak tahan lagi. Dia mengamuk lalu mengobrak-abrik tempat itu dengan seluruh tenaganya. Tidak peduli masih banyak orang atau tamu di tempat laknat itu. Tidak peduli bahwa ia bisa saja diseret ke kantor polisi, tentu saja dipukuli dulu oleh bodyguard yang bekerja di bar.
Hanya itu yang Rama ingat. Rama sama sekali tidak menyentuh wanita itu, Diandra. Ia sendiri sangat terkejut saat Deva datang dan petugas polisi itu menceritakan tuntutan pada dirinya ke Deva.
Rama bahkan hanya bisa menatap Deva dengan penuh harapan.
"Gue mohon, percaya sama gue.."
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Raka & Rama [Jinkook Local Version]
FanfictionBagi Rama, Raka -abangnya- adalah pahlawan. lebih keren daripada Superman atau Batman. Bagi Raka, Rama tetaplah adik kecil yang meskipun ngaku-ngaku sudah dewasa, dia akan tetap ngambek kalau Raka telat pulang kerja.