Kejujuran di Atas Segalanya

1.9K 232 67
                                    

Hai, oremanieyo? Hehe
.

.

.

.

.

Raka tadinya ingin mengabaikan saja ketukan di kaca jendelanya, ia hanya ingin istirahat sebentar, merebahkan kepala dan menenangkan jantungnya yang berdebar, tetapi ketukan itu semakin lama justru semakin keras dan membuatnya terganggu. Takut juga dia dikira meninggal di dalam mobil. Raka belum siap digerebek orang-orang yang curiga kalau dia sudah meninggal, apalagi kalau mereka sampai nekat memecahkan kaca jendela mobilnya, errr... jangan sampai, bisa rugi bandar dia.

Menghindari kemungkinan terburuk yang mungkin bisa terjadi, akhirnya dengan terpaksa Raka menurunkan kaca jendelanya, hendak memaki orang yang mengganggunya tapi tidak jadi setelah melihat wajah si pengganggu.

"Loh? Dion? Ngapain, sih?"

Yang ditanya hanya melongo begitu melihat wajah kesal Raka yang muncul tiba-tiba. Dion mengedipkan mata beberapa kali, mengembalikan kewarasaannya.

"Abang nggak apa-apa?" Nah, akhirnya Dion bertanya setelah sesaat terdiam. Cukup lega juga saat tahu kalau pemilik mobil itu baik-baik saja.. setidaknya itu yang terlihat.

"Emangnya gue kenapa?" Bukannya mendapat jawaban, Dion justru ditanya balik.

"Gue daritadi ngetuk jendela tapi nggak dibuka-buka. Gue kan takut terjadi sesuatu, bang!" Raka merotasikan kedua bola matanya.

"Emangnya abang selemah itu, ya?" Yah, salah lagi Dion.

"Nggak git--"

"Iya tahu, bercanda doang" Dion mau marah sebenarnya, dia kan, belum selesai bicara. Tapi Dion tidak jadi marah, mengingat hubungannya dengan Raka sedang tidak baik karena ia ikut berperan menyembunyikan masalah Rama dari Raka.

Mereka berdua kemudian sama-sama terdiam. Larut dalam pikiran masing-masing sekalipun sebenarnya yang dipikirkan sama, bagaimana caranya minta maaf?

Helaan napas Raka yang kemudian terdengar membuat Dion jadi berpikir buruk, takut Raka masih sebal padanya.

"Maaf--" buru-buru Dion bicara, takut Raka marah atau pergi begitu saja, namun belum selesai bicara, kata-katanya sudah dipotong Raka. Lagi.

"Iya dimaafin" Dion itu penyabar, kok.

"Dipotong mulu gue ngomong daritadi" Raka justru tertawa mendengar Dion mendengus kesal.

"Abang udah tahu semuanya. Maaf kalau kemarin abang kasar" Akhirnya Dion bisa bernapas lega. Tidak sia-sia dia hampir membuat keributan.

***

Hari ini adalah hari yang paling ditunggu sekaligus ditakuti oleh Rama. Ia akan menjalani sidang skripsi setelah seminggu penuh bolak-balik bimbingan ke kampus. Rama pada dasarnya menyukai kesempurnaan. Iya, dia sangat perfeksionis. Dosen pembimbingnya sampai tidak tahu harus senang atau sedih karena mahasiswa bimbingannya yang satu itu begitu rajin dan menuntutnya memberikan revisi.

Rama sudah rapi dengan kemeja putih, celana bahan, sepatu pantofel dan jas almamater kampusnya. Kini dia tengah berdiri di depan cermin berukuran dua kali satu meter yang ada di kamar abangnya. Setelah bertahun-tahun, Rama akhirnya menyadari gunanya cermin sebesar itu. Dia sejak tadi sibuk menata rambut, lalu merapikan baju, lalu melenggok ke kanan, kemudian ke kiri, sampai mengulang menatap rambut lagi.

"Kamu itu mau sidang apa mau kencan, sih?" Itu suara Raka. Dari lima belas menit yang lalu dia menunggu giliran untuk memakai cerminnya, namun sepertinya adiknya itu sekarang sedang tidak tahu diri. Raka jadi kesal.

Raka & Rama [Jinkook Local Version]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang