Gue, Bulan

67 33 9
                                    


"Warna lipstiknya yang mana? Merah atau pink?" tanya gue ke Wulan yang sekarang gue dandani.

Dari awal dia bilang ke gue kalo dia cuma mau didandanin sama gue. Lah bocah goblok kali ya, gue aja kalo dandan kadang suka belepotan, lah terus sekarang gue disuruh bikin dandanan buat penganten? Idih, mana pake bulu mata palsu segala, kan ribet ya.

Tapi karena si Wulan yang mirip nenek sihir ini maksa, yaudah akhirnya gue coba-coba dandanin dia. Coba-coba aja dulu, kali aja nyaman, wkwkw.

"Yang pink aja, Nat."

Gue mengangguk kemudian memakaikan Wulan lipstik dengan warna yang ia pinta. Sembari memakaikan, gue menyempatkan diri bertanya pada Wulan tentang Reinat.

Tujuh tahun terakhir ini gue pengen tau gimana keadaannya. Jujur, gue gak bisa benci sama dia. Dulu gue berfikir kalo dia yang buat Fastian hilang ingatan. Tapi seiring berjalannya waktu, gue makin dewasa dan tau kalau ternyata bukan dia yang buat Fastian hilang ingatan. Tapi takdir.
Ini semua permainan takdir.

"Lan."

"Hem?"

"Gimana Reinat?"

Mendengar pertanyaan gue, Wulan langsung menatap gue horor.

"Ih anjir muka lu serem!"

Wulan langsung menormalkan ekspresi wajahnya. Ia membenarkan posisi duduknya sebentar, kemudian bersiap menceritakannya semuanya ke gue.

"Ya ... setelah kejadian itu gue ga pernah ngeliat Reinat ada disekolah lagi, Nat. Katanya sih, kalo gue denger-denger, dia sama kakaknya yang namanya Reina itu udah keluar dari sekolah. Mereka juga sempet nyerahin diri ke polisi, tapi gatau deh mereka di penjara atau enggak, soalnya kan masih dibawah umur. Tapi sekarang ada sih ya, penjara khusus anak dibawah umur, tapi kalo mereka dipenjara atau enggaknya gue gak tau. Intinya gue denger mereka berdua nyerahin diri ke polisi karena kasus pembunuhan berencana. Kalo dari sepengakuan mereka, katanya mereka udah ngerencanain untuk nabrak Fastian, Nat."

Gue sempet kaget ketika Wulan bilang kalo Reinat dan kakaknya menyerahkan diri ke polisi karena kasus Fastian. Kalau mereka sampai menyerahkan diri kayak gitu, berarti mereka merasa bersalah? Tapi bukannya mereka dendam? Trus kenapa mereka bisa merasa bersalah kayak gitu?

Pikiran gue masih penuh dengan pertanyaan-pertanyaan itu, namun gue segera menanggapi ucapan Wulan dengan mengangguk. "Owh, gitu, ya?"

"Iya. Terus Reinat juga sempet ngomong ke gue, katanya dia minta maaf sama lo. Dia ngomongnya sih lewat chat, katanya dia minta maaf banget karena udah nyakitin Fastian yang gak bersalah. Dia juga minta maaf karena dia sadar kalo lo bukan penyebab kematian Arolan. Toh, manusia meninggal karena memang sudah ajal mereka, kan?"

Gue berhenti dari aktivitas gue, mencoba menarik nafas sesaat. Mengikhlaskan semua kejadian yang telah berlalu. "Ini semua emang udah takdir. Ga ada yang bisa mengubah takdir, sekalipun dia punya seribu kekuatan untuk mengubahnya."

Wulan mengangguk seraya tersenyum. Entah kenapa sudut bibir gue juga ikut tertarik.

"Nat."

"Hem?"

"Lo maafin Reinat?"

Tanpa berfikir dua kali, gue mengangguk untuk menjawab pertanyaan Wulan. "Gue juga lagi berusaha untuk memaafkan diri gue sendiri. Selama ini gue selalu nyalahin diri gue, padahal dia udah kuat nerima semua beban. Untuk sekarang, gue lebih fokus untuk memperbaiki diri, Lan."

Wulan yang mendengar hal itu malah ketawa ngakak, membuat gue bertanya-tanya dalam hati. Kenapa nih bocah bisa ketawa kek nenek sihir gini? Apa dia kerasukan?

Natto dan PerjodohannyaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang