Pagi ini, Ano tengah sibuk mengemasi barang-barang miliknya untuk dibawa ke Bogor. Mulai dari baju, dokumen, dan barang-barang pribadi semua ia masukkan ke dalam kopernya.
Saat ia tengah mengemasi buku-buku yang ada di laci meja belajarnya, ia menemukan secarik kertas kecil berisikan nomor.
Ia mengernyit saat mengingat-ingat kertas itu. Sepertinya rentetan nomor itu adalah nomor telepon. Akan tetapi, nomor telepon siapa?
Karena merasa bahwa kertas itu tidak penting, ia pun hendak membuang kertas tersebut. Namun seakan-akan ingatannya kembali masuk ke dalam akalnya.
Ia teringat, bahwa itu adalah nomor telepon yang ia temukan dari kotak pensil Dira yang terjatuh saat gadis itu berlari karena merasa gugup.
Ia terkekeh saat mengingat bagaimana ekspresi gadis itu saat tengah gugup, sangat lucu dengan wajah memerahnya.
Bahkan ia jadi merasa bodoh, karena ternyata ia salah nomor. Tapi, kabut dendam dan amarah kembali menyelimuti akal sehatnya. Gadis itu adalah orang yang telah membuat rumah tangga ibu dan ayahnya jadi hancur. Ia meremas kertas tersebut dan membuangnya kesembarang arah.
"Gua benci sama lo! Gua benci! Gua nyesel kenal sama lo! Gua nyesal udah nolongin lo! Dan yang paling buat gua nyesel adalah gua nyesal jatuh cinta sama anak dari penghancur rumah tangga kayak lo!" Lelaki itu meremas rambutnya dengan perasaan frustasi. Wajahnya memerah akibat menahan rasa emosi dan cinta yang bersamaan. Ia tidak pernah menyangka bahwa ia akan merasakan rasa benci dan cinta yang bersamaan, rasanya seperti tersulut oleh api yang kita ciptakaan sendiri.
Di balik itu semua, sedari tadi Mirda sudah melihat dan mendengar semua perkataan keponakannya tersebut dari pintu kamar Ano.
Ia tidak tega melihat keponakannya merasakan sakit hati sama seperti yang dialami oleh kakaknya (ibunya Ano).
"Ano.. " panggil Mirda.
Lelaki itu diam, tak menoleh bahkan tak mengucap sepatah kata.
"Jam tiga nanti kita bakal berangkat. Kalau kamu mau keliling kota atau ketemu sama teman-teman kamu masih sempat kok"
"Ano masih mau sendiri tante"
"Yasudah.. kalau begitu tante mau kemas kemas barang dulu" setelah mengatakan itu, Mirda pergi dan meninggalkan Ano sendiri dikamar.
Lelaki itu menatap sendu jam weker yang terletak di atas meja belajarnya. Sejak ia mengenal gadis itu, ia selalu mengatur alarm pukul 5.30 untuk belajar sebentar dan bersiap-siap kesekolah agar tidak mengebut saat membawa kendaraan.
Sebelum ia mengenal gadis itu, biasanya ia mengatur alaram pukul 6.30 dan bangun pukul 6.45. Bahkan lebih dari lima jam weker yang ia campakkan karena terlalu keras saat berbunyi.
"Ngebut?" Rasanya sudah lama sekali lelaki itu tidak membawa motor sportnya dengan kecepatan tinggi. Melaju dengan kecepatan tinggi dapat membantunya melepas amarah yang sedang ia rasakan.
Kemudian ia mengambil kunci motornya dan pergi menghampiri motor kesayangannya yang sudah terparkir di teras rumah. Tanpa basa basi, ia memakai helm fullfacenya kemudian melaju dengan kecepatan tinggi.
Ia menyelip mobil mobil besar dengan sangat lihai, bahkan banyak orang yang meringis melihat bagaimana cara Ano menyelip mobil mobil itu. Sangat brutal dan berbahaya.
Derum motornya bahkan terdengar hingga lima puluh meter. Memang benar kata orang orang, jika seorang pria sedang diliputi amarah orang itu bisa melakukan hal yang brutal dan berbahaya.
Bahkan saat lampu merah, ia tetap melajukan motornya tanpa melihat betapa bahayanya melawan arus di lampu merah.
Saat ia hendak menyelip sebuah mobil besar, ia tidak melihat ada sebuah mobil yang datang dari lawan arah.
KAMU SEDANG MEMBACA
Penghujung Rasa [END]
Fiksi RemajaApakah salah jika aku bukan gadis yang cantik? Apakah di dunia ini yang diutamakan hanya mereka yang berparas cantik dan good looking? Sementara yang jelek? Menjadi bawahan dari mereka yang berparas cantik. Yang jelek akan dihina, dibuli dan diterta...