“Aku mau beli kopi dulu ya. Mau nitip ga?” Vanesha berdiri seraya menyerahkan tas dan goodie bag miliknya pada Amel.
“Aku pesen eclaire satu ya. Heran deh, kopinya ngga enak gitu juga tetap dibeli”
Vanesha memukul lengan Amel pelan, “Americano nya enak kok. Lo disini aja ya. Tungguin”
“Iyeee”
Vanesha berjalan ke arah sebuah gang dan berjalan terus ke ujung jalan, tempat kedai kopi yang sering ia kunjungi berada. Kedai kopi kecil itu berada di ujung jalan, dan benar kata Amel, kopinya tidak terlalu enak, sehingga tempat itu sangat sepi. Tapi Vanesha mengenal Gio, si pemilik kedai kopi, sekaligus sang barista, sekaligus merangkap sebagai satu-satunya pegawai di kedai kopi itu.Dreamcatcher berwarna biru dan kuning yang digantung di atas pintu masuk bergoyang dan berbunyi pelan ketika Vanesha mendorong pintu. Kedai kopi kecil tersebut hanya terdiri dari 2 meja di luar, dan ada 5 meja kecil di dalam ruangan. Gio sedang membuat kopi untuk tamu yang ada di depan kasir. Vanesha berjalan pelan ke belakang tamu itu.
“Oh, hai”, sapa Gio seraya melambaikan tangannya pelan ketika melihat Vanesha seraya meletakkan kopi di atas meja kasir. Belum sempat Vanesha membalas lambaian tangan Gio, tamu yang ada di hadapannya menoleh ke arahnya. Tangan Vanesha menggantung di udara ketika melihat sosok tamu yang ada di hadapannya. Pria itu pun tampak terdiam saat menatap Vanesha.“H-hai, Gio”, sapa Vanesha, “dan hai, Baal”, sapa Vanesha pelan dan kaku.
“Hai, Sha. Ngga nyangka kita ketemu disini”, balas pria itu lalu mengambil kopinya, “Aku duluan ya”, ucapnya lalu berjalan ke arah meja yang terletak di pojok ruangan. Sudah ada laptop dan beberapa buku disana.“Something wrong?”tanya Gio. Vanesha mendekat ke arah kasir seraya menggeleng.
“Americano, as usual. And eclaire two, please”
Tanpa bertanya lebih lanjut, Gio segera membuat pesanan Vanesha. Vanesha melirik sekilas ke arah pria itu yang kini terlihat membolak balik buku miliknya.
“Do you know that guy?” tanya Gio seraya membungkus dua buah eclaire milik Vanesha.
“Is he reguler customer here? I think i never met him before”
“Like 4 or 5 times a month? He always brings laptop and so many books, and spent about 3 glasses of cinammon latte”
Vanesha mengeluarkan uang miliknya lalu menyerahkannya kepada Gio, “Thank you Gio. See you soon!”
Vanesha melirik sekilas ke arah pria itu sebelum keluar dari kedai kopi Gio. Matahari segera tenggelam, Vanesha mempercepat jalannya.“Gue kayaknya baru aja mimpi deh”, ucap Vanesha seraya menyerahkan eclaire milik Amel dan menyesap sedikit kopi miliknya.
“Kenapa? Lo ketemu hantu di sana?”
“Lebih parah dari hantu. Gue ketemu Iqbaal”
“Hah? Iqbaal? Iqbaal siapa?”
Vanesha menatap Amel kesal, pandangannya seolah menyatakan ‘Iqbaal-yang-mana-lagi-masa-lo-gatau’ yang disambut Amel dengan tatapan mata membelalak.
“Iqbaal yang itu? Kok bisa?”
“Ya mana gue tahu kenapa dia bisa ada di situ. Awkward banget”
“Ya iyalah. Lo ngobrol apa aja sama dia?”
“Boro-boro mau ngobrol. Aneh banget gitu”, ucap Vanesha seraya memegang dada sebelah kirinya. Rasanya jantungnya berdegup sangat kencang bahkan sampai saat ini.
“Ya baguslah. Lo ga perlu ada urusan apa-apa lagi sama dia”, ucap Amel seraya mengambil eclaire keduanya, lalu menatap Vanesha, “kenapa lo?”
“Jantung gue seakan berhenti waktu ketemu dia tadi dan sekarang berdegup kencang banget”
“Apaan sih, Sha? Masih sayang sih, makanya begitu”
“Ih, udah nggak!” Sasha menatap Amel galak membuat Amel tertawa.
“Iya deh, udah nggak”, ledek Amel, “udah ah, balik yuk. Kita harus ke apart-nya Jessie buruan. Ntar dia ngomel lagi kalau kita ngga dateng”Vanesha menghela nafas, “gue ngga ikut ya, Mel. Gue lagi males ketemu Jessie. Ntar dia pasti ngobrolin soal ultah gue. Gue tuh males harus buat birthday party”
“Lah kan yang bakal repot si Jessie, sebagai si workaholic party planner, bukan elo”
“Masalahnya gue ngga suka dibuatin party-party gitu”
“Yaudah, makanya lo kudu ketemu sama dia, bilang kalau lo ngga mau dibuatin birthday party”
“Gue ngga bisa bilang nggak kalo di depan dia”
Amel terkekeh, “Emang gitu si Jessie, pasti dia dapat apa yang dia mau. Lo ngga bisa ngelak, udah deh, biarin aja dia buat party. Maksud dia juga nggak jahat kok. Dia tuh kesepian, makanya heboh buat party untuk teman-temannya. Lo tinggal nikmatin aja party yang dia buat”
“Tapi kadang nggak nyaman gitu loh, Mel. Yang datang tuh teman-teman dia yang kita nggak kenal”
“Makanya, kenalan. Itu tuh kenapa Jessie cocok buat ditemanin. Koneksinya luas. Dulu aja kakak gue dapat kesempatan internship karena koneksinya Jessie. Udahlah, gapapa , Sha. Tahan-tahanin aja dulu, cuma sampai lulus kuliah doang”, bujuk Amel.
Vanesha memanyunkan bibirnya, “Oke deh”
“Gitu dong. Yuk ah, berangkat”***
Cuaca Melbourne memang ajaib. Meski sudah satu tahun berada di sini, Vanesha masih belum bisa paham dengan betapa mudahnya cuaca di sini berubah-ubah. Semalaman hujan turun dengan sangat deras, sampai dengan pagi tadi. Tapi siang ini, sepulang dari kuliahnya, matahari bersinar sangat terik. Vanesha memutuskan untuk singgah ke food court sebentar sebelum pulang.“Halo, Jessie?”
“Hai, Sha”, sapa Jessie di ujung sana, “Sha, kayanya rencana kita ke Coles sore ini kita delay dulu ya. Mendadak ada urusan sama bokap nih”
“Bokap lo udah balik emang?”
“Mendadak. Makanya gue juga batalin janji mendadak. Gimana kalau besok?”
“Besok justru gue yang nggak bisa, J”
“Yaudah kalau gitu demi nebus kesalahan gue, gue sendiri aja yang belanja besok”
“Eh jangan gitu dong. Kita bagi dua aja, kan ini juga demi birthdaynya gue. Lo kirimin aja list barang yang perlu dibeli”
“Yakin nih, Sha?”
“Iyaaa. Udah kirimin aja. Setengahnya aja ya. Besok lo sisanya”
“Sorry banget ya, Sha”
“Gausah sorry-sorry gitu deh. Gue tunggu list nya ya”
“Okay, sweetheart! Thanks yaaa”
Vanesha menghela nafas pelan seraya meletakkan kembali ponselnya ke saku. Ia memesan hotdog dan duduk di salah satu meja yang kosong.Mel, temanin gue ke Coles dong sore ini.
Sent to : AmelSambil menunggu balasan dari Amel, sebuah pesan dari Jessie muncul. List daftar belanjaan.
From : Amel
Bukannya lo sama Jessie? Gue ga bisa, Sha, lo tau kan gue harus latihan.Vanesha menghela nafas seraya menatap list belanjaan Jessie. Gila banyak banget. Dia mau buat birthday party apa mau buat acara nikahan sih? Lagipula apartemen kecil milik Sasha paling hanya bisa menampung 15 orang doang. Tapi dia malas berdebat dengan Jessie.
Vanesha menghabiskan hotdognya lalu merapikan buku-buku dan tasnya. Dia sebaiknya ke Coles sekarang.
Setelah melewati perjalanan dengan trem, Vanesha sampai di Coles terdekat dari rumahnya. Setidaknya, dengan belanjaan yang banyak, dia nggak perlu jalan dan bawa belanjaan jauh-jauh. Vanesha mengambil troli, lalu mulai mengambil beberapa bahan makanan seperti yang ada di list Jessie, memutari Coles.
Vanesha menyusuri section susu seraya menatap bingung beberapa susu almond yang ada di hadapannya, lalu menatap kembali ke ponselnya, ke arah list belanjaan dari Jessie. Jessie tidak menyebutkan merk apa untuk list susu almond, sementara yang lainnya dia menyebutkan dengan jelas merk yang dia inginkan. Harus memilih sendiri adalah hal yang sulit, gumam Vanesha dalam hati seraya mulai menyusuri barisan susu almond itu. Yang paling enak yang mana? Yang paling mahal kah? Hhmmm beda nya hampir 5 dollar. Dia menatap tiap merk susu almond yang ada di situ, melihat ingredients-nya, melihat berat bersihnya, dan harganya.
“Yang ini paling enak”
Vanesha terperanjat, kaget, kakinya berjalan mundur.
Seorang pria menyodorkan sekotak susu almond yang bungkusnya berwarna hijau.
“Oh, h-hai, Baal”
“Kamu kaget?” tanya Iqbaal seraya menggoyangkan kotak susu yang dipegangnya, “udah yang ini aja. Harganya standar, tapi yang paling enak dari semua sih. Aku udah cobain semuanya”
Vanesha dengan perlahan mengambil kotak susu yang dipegang Iqbaal, “Oh, iya. Aku bingung soalnya nggak pernah beli. Aku beli yang ini aja”
“Aku lihat kamu bingung”, ucap Iqbaal lalu mengambil sekotak lagi, dan memasukannya ke dalam troli miliknya, “Kita ketemu, lagi”Vanesha tersenyum kaku, “Iya”, ucapnya lalu mengambil dua kotak susu almond lagi dan memasukannya ke dalam troli miliknya yang hampir penuh. Iqbaal menatap troli Vanesha yang hampir penuh, “Kamu belanja bareng siapa?”
“Hah? Sendiri doang”, ucap Vanesha, lalu menatap ke ponselnya lagi, menatap list belanjaan Jessie. Dia tinggal ke section bumbu dan kegiatan belanja ini akan berakhir.
“Makasih atas rekomendasinya, Baal”, ucap Vanesha seraya tersenyum tulus, “Aku duluan ya”“Eh, mau kemana?”
“Ke bagian bumbu”
“Terus?”
“Terus apanya?”tanya Vanesha bingung, “Oh, terus abis itu udahan sih, mau pulang”
“Yaudah, aku temanin”
“Hah?”
“Bagian bumbu kan?”
Iqbaal berjalan mendahului Vanesha ke arah section bumbu. Meskipun kebingungan, Vanesha akhirnya mengikut dari belakang. Vanesha mengambil beberapa bumbu yang dia perlukan, mengecek list dari Jessie lagi, lalu menatap Iqbaal yang kini hanya menatapnya.“Mau bayar?” tanya Iqbaal saat melihat Vanesha sudah selesai memasukkan bumbu-bumbu. Tepat saat itu, ponsel Iqbaal berdering. Iqbaal menatap teleponnya, lalu mengangkat panggilan itu.
“Hallo, Zee. Masih di Coles nih, call you later, ya”
Vanesha memalingkan wajahnya begitu mendengar nama yang disebutkan Iqbaal.
“Nggak jadi ke kasir?”
Vanesha memalingkan wajahnya lagi dan menatap Iqbaal, dia lalu mengangguk dan mendorong trolinya ke arah kasir.
KAMU SEDANG MEMBACA
JUST IN TIME
General FictionKatanya, kebetulan yang terjadi berulang-ulang, adalah takdir. Writer's Note : Hai, first timer here! Semoga cerita ini bisa diterima dan bisa buat bahagia hehe. Jadi, cerita ini benar terinsiprasi banget dari Iqbaal dan Vanesha, tapi pengembangan...