***
Vanesha membuka matanya perlahan, sambil mengulet kecil, Vanesha berusaha untuk duduk. Ia mengamati sekelilingnya. Dia tidur di sofa ruang tamu. Vanesha menatap jam kecil di dekat televisi. Jam 5.30 pagi. Vanesha menyadari Iqbaal tidur di lantai, kepalanya berada di ujung sofa.
Vanesha menatap kembali ke sekelilingnya.
Sudah rapi.
Tidak ada lagi kartu uno dan mainan-mainan di lantai. Diletakkan dengan rapi di atas meja.
Gelas-gelas kotor dan bersih, sudah tidak ada. Begitupun piring dan makanan-makanan. Balon-balon masih bergantungan.
Vanesha mencoba berdiri, dengan perlahan, berusaha tidak membangunkan Iqbaal. Dia berjalan menuju arah dapur. Membuka mesin pencuci piring. Semua piring, gelas, dan sendok sudah dicuci. Vanesha membuka kulkas. Tampak sisa cake ulang tahun miliknya, beberapa sisa makanan kemarin, dan botol wine terakhir tersimpan rapi di kulkas.Vanesha merasakan ada aliran hangat yang mengalir di dadanya.
Vanesha berjalan kembali ke arah ruang tamu lalu jongkok di sebelah Iqbaal. Ia menatap wajah Iqbaal.Matanya. Hidungnya. Pipinya. Bibirnya.
Kangen.
Tapi nggak boleh.
Tapi kangen.
Vanesha mengulurkan tangannya pelan, membelai rambut Iqbaal dengan pelan. Iqbaal bergerak sedikit, membuat Vanesha mematung dan seolah berhenti bernafas, karena dia tidak ingin ketahuan sedang menatap Iqbaal sedekat ini.Vanesha lalu menggoncang badan Iqbaal pelan, “Baal”, panggilnya, “Baal, tidur di sofa aja jangan di lantai”
Iqbaal mengulet, tapi tidak terbangun.
“Baal”, kali ini Vanesha menggoncang tubuh Iqbaal sedikit lebih keras dari sebelumnya, “Jangan tidur di lantai”
Iqbaal membuka matanya perlahan.
“Tidur di sofa aja”, ucap Vanesha.
Iqbaal mengangguk, lalu dengan mata setengah terpejam, dia naik ke atas sofa.
Vanesha meletakkan bantal di bawah kepala Iqbaal, lalu menyelimutinya.
Vanesha berjalan menuju kamarnya. Mengambil ponselnya lalu memberikan pesan kepada Jessie dan Megan untuk tidak ke apartemennya karena apartemennya sudah rapi. Vanesha lalu membasuh wajahnya dan menggosok giginya. Lalu menghidupkan treadmill agar bisa berolahraga sejenak.
Selesai berolahraga, Vanesha langsung menuju dapur. Menghangatkan chicken steak sisa pesta kemarin, lalu membuat salad dengan sayur-sayuran. Dia ingin membuat caesar salad.
Selain itu, dia memanaskan kembali beberapa roti sisa kemarin di dalam microwave.
Vanesha membangunkan Iqbaal ketika sarapannya sudah selesai, dan sudah menunjukkan jam 7 pagi.
“Biar segar”, ucapnya seraya menyodorkan segelas teh hangat kepada Iqbaal.
“Makasih”, ucap Iqbaal serak lalu meminum perlahan teh hangatnya.
“Mau roti apa chicken and salad? Sorry ya, ini semua aku panasin lagi”
Iqbaal tertawa, “It’s okay”, ucapnya lalu mengambil garpu dan mulai menyendok chicken and salad buatan Vanesha.
“Kamu yang beresin apartemen aku?”
Iqbaal mengangguk, “Aku belum ngantuk, kamunya udah tidur, jadi yaudah aku beresin aja”
“Makasih ya, Baal”
Iqbaal hanya mengangguk lalu mengunyah kembali makanannya.
“Sebenarnya aku punya satu hadiah lagi buat kamu”
“Hah? Kali ini beneran hadiah?”
Iqbaal tertawa, “Sore ini jam 4. Ada Matilda show di Her Majesty’s Theater. Kita ke sana, ya”
Vanesha terdiam. Iqbaal ngajakin nonton teater?
“Aku kan pernah bilang, kalau ada show yang menarik, aku info ke kamu. Ini aku info sekalian ajak nonton”
“Ini...beneran?”
“Ya masa becanda, Sha? Itu tiketnya ada di ransel aku”
Vanesha masih terdiam. Otaknya belum dapat mencerna dengan baik semua kejadian ini. Tadi malam baru saja mereka menghabiskan malam berdua. Sarapan berdua. Sekarang mau nonton teater berdua?
“Kok diam? Emang ada acara lain hari ini?”
“Eh? Ng-nggak sih”
“Yaudah, habis sarapan aku balik ya. Nanti jam 4 ketemu di Her Majesty’s Theater. Eh, apa kamu mau aku jemput dulu?”
“Ketemu di sana aja”, ucap Vanesha cepat. Dijemput di apartemennya membuat Vanesha akan merasa bahwa ini seperti ajakan kencan.
Dan itu tidak boleh.
Mereka hanyalah teman yang berusaha menjadi akrab kembali dengan menonton teater.
Cukup.
Tidak lebih.
“Oke. Jam 4 ya. Kalau nggak dateng, aku samperin ke apartemen”
“Hahaha iyaa iyaa pasti dateng”
“Oh ya, masih punya nomerku kan?”
Vanesha mengangguk.-----‐--------------------------------------------
Writer's note :
Hi, semuanya, teman-teman yang udah baca dan kasih vote buat cerita ini. Terimakasihhh banyaaak :)
Dukungan sekecil apapun berharga banget buat pemula seperti aku.
Cerita ini bakal masih panjang, so bear with me yaa!
Aku juga gak bisa cepat-cepat update karena masih dalam proses nulis juga, tapi aku usahahin bisa lebih baik dalam menulis dan bisa update sesering mungkin.Terimakasih, semuanyaa!
Loveee 💕
KAMU SEDANG MEMBACA
JUST IN TIME
General FictionKatanya, kebetulan yang terjadi berulang-ulang, adalah takdir. Writer's Note : Hai, first timer here! Semoga cerita ini bisa diterima dan bisa buat bahagia hehe. Jadi, cerita ini benar terinsiprasi banget dari Iqbaal dan Vanesha, tapi pengembangan...