“Minum dulu”, Iqbaal menawarkan tumbler miliknya ke hadapan Vanesha. Vanesha menerima tumbler itu, lalu minum dengan perlahan.
“Makasih”, ucap Vanesha lalu mengembalikan tumbler itu kepada Iqbaal, “sorry ya kamu jadi keseret ke sini”
“It’s okay”, ucap Iqbaal seraya menyimpan kembali tumblernya.
Mereka sedang duduk di sebuah taman di belakang rumah sakit. Tampak beberapa pasien berada di sana. Ada yang sedang belajar berjalan, ada yang mengobrol, ada yang duduk saja memandang langit.
“Are you okay?” tanya Iqbaal, memastikan Vanesha baik-baik saja.
“I’m okay, but i feel bad for Gio and Leah”
“Kamu bisa cerita kalo kamu mau”
Vanesha menghela nafas perlahan, “Gio itu, si pemilik coffee shop, suka sama Leah. Leah itu sebenarnya udah janda, cuma mantan suaminya toxic banget bahkan sampai hari ini masih ngintilin mulu kemana Leah pergi. Mereka cerai juga karena KDRT gitu sih. Gio belum berani terus terang sama Leah soal perasaannya karena Leah kayak masih trauma gitu sama mantan suaminya. Biasanya Gio selalu cerita soal Leah dan anaknya, Olivia. Gio selalu berusaha melindungi mereka. Tapi hari ini tuh kejadian buruk banget. Padahal Olivia itu anaknya loh, kok bisa sih bapak nya nyakitin begitu. Pas emak nya lagi nggak di rumah, lagi. Sakit tuh orang ya”
Iqbaal akhirnya paham kenapa dia bisa ada di rumah sakit ini.
“Padahal anak sekecil itu ya salah apa coba sampai dipukul, disakitin begitu. Heran”, ucap Vanesha ketus, “Jahat banget. Cewe-cewe tuh harusnya lebih aware ya sama pasangannya kalo mau nikah. Kalau udah nikah, terus dapatnya toxic dan kasar, main tangan , dan lain-lain, gimana ceritanya kan? Udah punya anak, pula. Itu buat takut juga”
“Takut kenapa?”
“Ya takut aja kalo ternyata pas nikah, pasangan kita nggak sama kayak pas pacaran. Kayak pas lagi pacaran, gak boleh kebawa buta sama cinta. Ya gak sih, Baal? Menurut Gio, Leah sebelum nikah pas masih pacaran gitu aja pernah ditampar dan dipukul. Tapi Leah pikir ya dia salah dan pantes dapat hukuman gitu, dan berpikir mungkin dia akan berubah setelah manikah. Tapi nggak. Kasihan banget, Leah”
Vanesha tampak mengeluarkan apa yang dia pikirkan dan rasakan selama ini. Nada suaranya terdengar pelan, tapi Iqbaal tahu kata-kata Vanesha penuh kemarahan.
“Gio itu sebenarnya lagi nabung, Baal, biar bisa ajak Leah sama Olivia keluar dari Melbourne, kalau perlu keluar dari Australia. Tapi, bisnis Gio nggak berjalan mulus. Coffee shop ada banyak, dimana-mana, mau nyewa tempat di tengah kota, mahal. Makanya dia berusaha untuk tetap jalanin coffee shop di sana, oh ya, dan di sana dekat sama apartemennya Leah, jadi paling nggak dia bisa ngawasin mereka dan stand by di sana, kalau diperlukan, misalnya kayak hari ini”
“Dia sayang banget sama mereka ya”
“Iya, makanya itu. Aku tetap beli kopi di tempat Gio karena aku gak bisa bantu dia selain itu. Semoga aja dia bisa segera bawa mereka keluar dari sini sih”, ucap Vanesha, nadanya menjadi sedih setelah tadi terdengar penuh amarah.
“You’re doing good”, ucap Iqbaal seraya mengelus punggung Vanesha pelan, “Kamu ngelakuin hal yang baik”
Vanesha merasakan sentuhan Iqbaal di punggungnya membuat dia merasa lebih baik. Begitu menenangkan. Begitu membuat nyaman.
“Kamu sendiri kenapa bisa sering nongkrong di tempatnya Gio?” tanya Vanesha.
“Karena sepi. Tempat paling cocok buat nongkrong lama ngerjain tugas dan kerjaan kantor. Sekali nongkrong aku bisa beli sampai 3 gelas kopi, loh”
Vanesha tertawa, “I know. Makasih ya, secara nggak langsung kamu udah bantuin Gio”
“Dengan tahu kisah Gio yang begini, i feel bad karena kedai kopi nya sepi. Yah, kopi nya mungkin nggak seenak tempat lain, tapi kue-kue dia lumayan. Buat orang yang nggak begitu suka dan nggak begitu ngerti kopi kayak aku sih, nggak masalah ya. Tapi mungkin buat kebanyakan orang, kopinya kurang nendang”
“Iya, Amel juga bilang gitu, kopinya kurang enak”, Vanesha tertawa pelan, “Aku udah bilang ke Gio soal itu, tapi dia bilang, Leah suka dengan racikan kopinya. So yeah, basically dia bucin, karena dia cuma jual standar kopi kesukaan Leah”
Iqbaal tertawa.
“Thanks ya, Baal”, ucap Vanesha seraya menatap Iqbaal, tulus, “Udah mau aku seret ke sini, udah mau nemenin aku nungguin Gio dan Leah, udah mau dengarin cerita aku”
Iqbaal menatap wajah Vanesha. Dia dapat melihat mata yang masih sama seperti dulu, tetap berbinar-binar meskipun ada rasa sedih dan kecewa di sana. Wajah yang rasanya tidak terlalu berubah, tapi terlihat lebih dewasa daripada sebelumnya. Iqbaal mengangguk, lalu tersenyum.
“Kan kamu yang bilang, kita masih bicara as friends”
Vanesha mengangguk. Berbicara sebagai teman terdengar lebih baik, daripada tidak berkomunikasi satu sama lain. Kita memulai sebagai teman, lebih baik kalau hanya berakhir dengan menjadi teman juga.
KAMU SEDANG MEMBACA
JUST IN TIME
Ficción GeneralKatanya, kebetulan yang terjadi berulang-ulang, adalah takdir. Writer's Note : Hai, first timer here! Semoga cerita ini bisa diterima dan bisa buat bahagia hehe. Jadi, cerita ini benar terinsiprasi banget dari Iqbaal dan Vanesha, tapi pengembangan...