4.a

464 55 1
                                    

Mata Vanesha berbinar-binar begitu lampu teater dinyalakan. Iqbaal tersenyum, dia tidak perlu bertanya lagi pendapat Vanesha, sudah pasti dia menyukai pertunjukan barusan.

Happy?” tanya Iqbaal akhirnya, memutuskan bahwa ia perlu dengar perasaan Vanesha setelah menonton pertunjukan tadi.
“Banget. Happy banget. Rasanya udah lama banget nggak ketawa, terus nangis, terus ketawa lagi, terus happy di teater”
Iqbaal tertawa, “Syukurlah kalo kamu suka. Yuk, keluar dulu”

Vanesha berdiri lalu berjalan menuju pintu keluar terdekat.
“Makasih banyak ya, Baal. Buat hadiah nya. Suka banget”
“Sama-sama, Sha. Habis ini makan yuk”

Ini beneran kayak nge-date deh jadinya, ucap Vanesha dalam hati.

“Yuk, boleh”
“Ke Longrain aja gimana? Nggak jauh dari sini, makanannya pun enak”
“Oh boleh”
“Yuk”, Iqbaal menggandeng tangan Sasha erat, menggandengnya untuk menyebrang dan berjalan ke arah Longrain Restaurant. Genggaman pertama sejak mereka memutuskan untuk perang dingin beberapa tahun belakangan.
Vanesha tidak tahu apa yang dia inginkan. Rasanya genggaman ini begitu dia rindukan. Tapi, terasa salah karena Vanesha tahu, tidak seharusnya dia merindukan genggaman pria yang sudah menjadi pacar orang lain.

Vanesha bimbang, apakah dia harus melepaskan genggaman ini. Atau menikmatinya sebentar saja. Sebagai paket hadiah ulang tahunnya. Toh besok, dia bisa kembali menjauh dan tidak berinteraksi dengan Iqbaal. Sama seperti setahun terakhir.

Mereka sampai di Longrain. Suasananya cukup ramai. Restoran ini biasanya memang semakin malam semakin ramai. Iqbaal dan Vanesha mengambil tempat di dekat bar. Semakin malam seperti ini biasanya Longrain mulai menyajikan cocktail dan minuman beralkohol lainnya.

“Tadi kayanya aku lihat ada jadwal Singing In The Rain bulan depan. Aku mau nonton ah”, ucap Vanesha antusias.
“Selama di sini sama sekali nggak pernah nonton teater?”
Vanesha menggeleng, “Kamu emang masih sering?”
“Dua atau tiga kali dalam satu tahun terakhir. Kalau lagi penat aja. Aku masih nemuin a little happiness setiap kali nonton teater”
“Dan aku ngerasain itu malam ini. Kangen nggak sih, jadinya? Inget nggak dulu aku selalu nyaris setiap hari latihan vokal dan tiap hari mewek karena nyanyi buat teater itu lebih susah ternyata?” Vanesha tertawa mengenang dia yang dulu kesusahan untuk latihan vokal.

Iqbaal mengangguk, “Iya, tapi begitu mau dekat jadwal pentas malah makan peyek diam-diam di belakang”
Vanesha tertawa, “Peyek itu kayak jadi obat buat calming down, tau. Tapi ketahuan sama kamu, dan kamu ngasih pidato panjang lebar buat nenangin aku dan i’m grateful for that. Aku bahkan kayaknya secara nggak sadar jadi sering bilang itu buat diri aku”
“Maksudnya?”
“Pokoknya tiap kali aku ngerasa aku mulai panik atau gak pede, aku selalu ngomong ke diri aku sendiri ‘it’s okay Sha. Aku udah mempersiapkan yang terbaik, apapun hasilnya accept aja. I’m gonna be fine’. Jadi semacam mantra”
And it works?”
Most of the time. Jadi kayak lebih legowo aja ga sih? Meskipun hasilnya mungkin nggak sesuai ekspektasiku”
“Iya. Baguslah”

Makanan yang mereka pesan datang, membuat mereka menghentikan obrolan untuk sementara.

“Gimana tugas akhir? So far so good?”
Not good, actually”, ucap Iqbaal seraya tertawa, “Ini masih berkutik sama teori-teori dan metode penelitian yang cukup ribet. Aku kayanya harus buat penelitian pilot dulu supaya bisa lebih jelas dan sesuai”
Vanesha mengangguk seraya menikmati makanannya.

“Rencana lulus tahun depan?”
“Doakan ya, Sha”
“Amiiiin”, ucap Vanesha tulus.
“Doain juga supaya kantor aku yang sekarang mau nerima aku begitu lulus”
“Kamu senang banget sama perusahaan ini ya?”
“Iya. Mereka udah kasih banyak opprtunity buat aku belajar. Aku merasa diterima. Dan pengen aja gitu rasanya, kerja di mereka dan ngasih yang terbaik buat perusahaan itu. I have a lot of ideas, actually, dan itu excites me

“Bunda gapapa kalau kamu gak balik ke Indo?”
“Aku udah bicara sama Bunda sih, dan dia bilang nggak apa-apa”
“Iyalah, mana mungkin Bunda bilang nggak buat hal-hal yang disukai anaknya”

Iqbaal terdiam, “Menurut kamu aku egois banget nggak? Soal Bunda?”

Vanesha menelan makanannya lalu menjawab, “Soal? Soal kamu lebih memilih kerja di Melbourne daripada pulang ke Indo?”
Iqbaal mengangguk.

“Ya enggak lah. Kamu kayak nggak kenal Bunda aja. Dia pasti happy buat semua pilihan kamu. Selama kamu juga bahagia,kan. Bunda mah nggak mungkin kesepian. Masih ada cucu yang bisa diurus, masih sibuk arisan sana sini juga sama teman-teman. Tapi mungkin dia kangen kamu lebih aja daripada yang lain. Tau lah, kadang-kadang video call nggak cukup untuk mengobati rindu. Tetap pengennya ketemu”

You sounds like you know my mother better than myself
Sorry, aku sotoy banget ya?”
“Nggak sih, itu semacam tamparan aja buat aku”
“Ya kalau gitu, meskipun kamu jadinya kerja di Melbourne, bolehlah Bunda dikirimin tiket sekali dalam dua bulan buat ke sini”
“Hahahaha”, Iqbaal tertawa, “Ide yang bagus juga. Tapi cashflow aku bisa seret ntar”
“Habis itu invoice-nya kirim ke Ayah, biar diganti. Cashflow kamu tetap aman”

Iqbaal tertawa lebih keras, sampai terbatuk dan menggapai minumannya dengan cepat.
“Makanya jangan makan sambil ketawa”, ucap Vanesha seraya menyerahkan tisu ke Iqbaal.
“Kamu sih buat aku ketawa”
Vanesha tersenyum kecil.

“Selalu menyenangkan ya kalau ngobrol sama kamu”, ucap Iqbaal tulus.
You still can talk to me”, ucap Vanesha. Actually, i’m missing our conversation like this, ucap Vanesha dalam hati. Sesungguhnya, Vanesha tidak tahu mengapa setelah dua tahun perang dingin dan setahun terakhir tanpa komunikasi meskipun sama-sama di Melbourne, dia masih merasa rindu.

Iqbaal mengangguk.
“Yah, nggak sering-sering juga nggak apa, Baal”

Iqbaal mengangguk lagi. Seandainya Vanesha tahu, seberapa sering Iqbaal dulu masih membuka laman chat mereka, membaca dari awal mereka komunikasi sampai tidak ada sama sekali.
Iqbaal ingat, chat terakhir dari Vanesha adalah kalimat “Terimakasih ya, Baal” dan Iqbaal tidak mampu untuk membalas, karena dia tidak tahu harus merespon bagaimana. Itu adalah chat beberapa hari setelah Iqbaal tahu, Vanesha telah berpacaran dengan Adipati. Yang Vanesha tidak tahu, Iqbaal menatap chat mereka selama di pesawat ketika dia menuju Melbourne. Ingin rasanya ia mengabari Vanesha bahwa dia begitu excited sekaligus begitu sedih meninggalkan Indonesia, mungkin Vanesha bisa memberinya sedikit rasa tenang. Tapi dia hanya membiarkan kata-kata itu terketik, tanpa pernah terkirim. Yang Vanesha tidak tahu, di Melbourne pun, bahkan setelah beratus-ratus ribu kilometer terpisah, Iqbaal masih merindukan Vanesha, dia juga membiarkan pesan “I miss you, Sha”, terketik tanpa pernah terkirim, dan selalu bilang kepada dirinya sendiri untuk tidak menghubungi Vanesha yang sudah memiliki pacar. Tidak etis. Yang Vanesha tidak tahu, Iqbaal ingin sekali mengirim personal chat kepada Vanesha ketika Vanesha mengabarkan di group Teater Semesta bahwa dia telah sampai di Melbourne, tapi tidak pernah ia lakukan.

***
Iqbaal menatap pesan yang baru masuk dari Zidny. Segera dia memencet tombol telepon.

“Hai, Sayang”, ucap Zidny di seberang sana, “Sorry nggak ngabarin tiga hari terakhir, aku lagi sibuk dan mumet banget di studio”
“Hai”, balas Iqbaal, “Oh, pantesan. Tapi semuanya baik-baik aja kan?”
“Aku kesulitan buat beberapa design, tapi setelah brainstroming dan diskusi banyak dengan Sonny, aku dapat inspirasi baru. Mungkin bulan ini aku juga bakal sibuk banget, Baal, karena aku mau ngejar ini selesai di akhir tahun, supaya bisa segera daftar buat ujian tahun depan”

“Oh, oke Zee. Keep contact, ya. Kamu jangan lupa makan meskipun sibuk buat tugas akhir”
“Iyaa, tenang aja, bos. Kamu sendiri gimana? Ada progres baik buat tugas akhir?”
“Semoga kita bisa lulus bareng, ya. Doain”
“Hahaha iyaaa. Asiiik, kalau udah lulus berarti balik ke Indo, dong? Kangeeeen”
“Pasti balik, sih. Nanti kita jalan bareng buat ngerayain kelulusan, ya. Makanya doain. Oh ya, doain juga supaya aku benar-benar diterima di perusahaan ini setelah lulus”

“Perusahaan ini yang mana?”
“Yang tempat aku internship”
“Oh”
“Kenapa?” tanya Iqbaal begitu mendengar nada suara Zidny berubah.

“Katanya pasti balik, tapi kenapa minta didoain supaya kerja di sana?”
“Kan habis lulus pasti balik ke Indo buat sementara, kalau memang diterima kerja di sini, ya aku pasti bakal ke Melbourne lagi, lah”

Zidny diam, tidak ada tanggapan dari seberang sana.

“Zee?” panggil Iqbaal.
“Hm? Eh, udah dulu ya, Baal, Sonny udah datang, aku harus diskusi lagi soal design project
“Oke, Bye, Sayang”
Bye

Iqbaal meletakkan ponselnya kembali ke atas meja, lalu menuju kulkas. Ia mengambil soda, lalu kembali ke sofa ruang tamu. Iqbaal berpacaran dengan Zidny belum genap satu tahun. Meskipun dulu banget dia pun pernah berpacaran dengan Zidny, Iqbaal sebenarnya tahu ini tidak adil bagi Zidny.  Iqbaal berteman dengan Zidny sejak SMP dan berpacaran dengan Zidny di awal SMA, hanya 6 bulan, karena Zidny selingkuh.  Iqbaal menyalahkan dirinya karena hal tersebut, dan begitu susah memaafkan Zidny.

Tapi bagi Iqbal, sebagai teman, Zidny adalah seorang teman yang baik. Dia jugalah yang menjadi salah satu orang pertama, yang Iqbaal bisa cerita, mengenai patah hatinya karena Vanesha berpacaran dengan Adipati. Dia jugalah, yang bisa Iqbaal temui setiap kali Iqbaal ingin ditemani. Dia jugalah, yang Iqbaal kirim pesan saat di Melbourne, ketika pesan yang sudah Iqbaal ketik buat Vanesha tidak bisa dia kirim ke Vanesha.

Mereka begitu dekat, sampai semua orang mengira bahwa mereka berpacaran kembali.
Sampai akhirnya, Iqbaal merasa mungkin dia perlu melupakan Vanesha, melupakan kenyataan bahwa Zidny pernah menduakannya, dan mungkin saja dia bisa membangun hubungan kembali dengan Zidny.

Meskipun pada akhirnya, Iqbaal menyayangi Zidny, tapi tidak pernah bisa melupakan bayang-bayang Vanesha.
Shit. Doesnt seem like he is the one whose cheating right now?

Ini tidak adil. Bagi Zidny. Bagi Iqbaal. Tapi mungkin aja seiring berjalannya waktu semua bisa lebih baik, kan?
Iqbaal tertawa dalam hati. Mengejek dirinya sendiri. Udah lebih dari 3 tahun, dan kau masih memikirkan dan merindukan Vanesha, apanya yang lebih baik?

Iqbaal seharusnya tidak membiarkan dirinya kembali berurusan dengan Vanesha. Mengetahui Vanesha bakal kuliah di Melbourne saja cukup membuatnya khawatir. Bagaimana dia bisa berada di satu langit yang sama dengan Vanesha tanpa membiarkan dirinya bertindak ceroboh untuk dapat bertemu dengan Vanesha ? Iqbaal menahan diri setahun lebih itu tidak menghubungi Vanesha, untuk bertahan pada hubungannya dengan Zidny, sampai semesta mengacaukan itu semua dan mempertemukannya dengan Vanesha sesering mungkin. Di coffee shop tanpa nama di ujung jalan, yang kemungkinan ketemunya justu sangat minim.

Bel apartemen Iqbaal berbunyi. Membuyarkan Iqbaal dari semua pikiran-pikirannya.

Hai, bro!
Christopher, teman kuliahnya, yang akan belajar bareng dengannya sudah datang. Dia perlu belajar untuk mengalihkan pikirannya dari Vanesha.

JUST IN TIMETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang